Oleh Frans Anggal
Sosimus Mitang - Wera Damianus alias paket Soda, yang unggul dalam perolehan suara pilkada Sikka 16 April 2008, mengusung moto “membangun dari desa”. Soda akan menjadikan desa sebagai basis utama pelaksanaan semua program pembangunan. Dari desa pulalah tingkat kesejahtaraan masyarakat Sikka akan diukur.
Ditilik dari permasalahan utama Sikka, moto “membangun dari desa” yang merupakan agenda perubahan lima tahun ke depan sangatlah tepat. Di masa awal tugas kegembalaannya, Uskup Maumere Mgr Vincentius Sensi Pototkota yang kini menjadi Uskup Agung Ende menyebutkan masalah utama Sikka adalah kemiskinan. Tak perlu dijelaskan dengan statistik jelimet. Gizi buruk dan kelaparan, misalnya, sangat kasat mata menjadi kasus rutin hampir tiap tahun. Ini gambaran jelas tentang rapuhnya ketahanan pangan masyarakat. Kasus-kasusnya selalu menimpa warga desa. Karena itu, “membangun dari desa” diharapkan bisa menjadi solusi yang tepat.
Yang menjadi pertanyaan kita: “membangun dari desa” ala Soda itu seperti apa? Moto berlabel partisipatoris ini didengungkan juga di banyak kabupaten. Kenyataannya, banyak program “membagun dari desa” mengabaikan realitas psikologi dan sumber daya manusia masyarakat pedesaan itu sendiri. Secara sistemik, eksistensi dan peran mereka diletakkan pada posisi marjinal. Posisi inilah yang menghancurkan rasa percaya diri masyarakat desa.
Kita berharap, program “membangun dari desa” ala Soda tidak menjadi sekadar bentuk lain dari kemauan ‘dari atas ke bawah’ (top-down). Pola “membangun dari desa” mestilah bersifat partispatoris benaran. Pola semacam ini memberi peluang bagi masyarakat untuk menentukan keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Sedangkan pendekatannya perlu difokuskan pada wilayah penghidupan sebagian besar masyarakat desa, yakni pertanian. Lebih khusus lagi, dimulai dari keberagaman hayati (biodiversitas). Yang disasarkan dalam keberagaman hayati adalah bagaimana mengelola keberlanjutan modal alam yang dimiliki masyarakat pedesaan. Modal alam mereka adalah tanaman. Bagaimana agar keberagaman tanaman memiliki hubungan yang kuat dengan keberlanjutan kehidupan dan penjagaan lingkungan. Dengan kata lain, bagaimana agar masyarakat pedesaan memiliki ketahanan pangan yang kuat dan kelestarian lingkungan yang terjamin.
Kita menaruh harapan, di bawah kepemimpinan Soda, cerita tentang warga desa yang terpaksa makan ubi hutan karena ketiadaan pangan non-beras perlahan hilang. Betapa indahnya jika tanaman pangan yang beraneka di lahan petani berserasi dengan hutan gunung yang ribun, hutan kota yang menghijau, serta kanal dan got yang bebas dari sampah, istana lalat dan nyamuk.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 23 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar