Oleh Frans Anggal
Babak baru kasus PLTU Ropa ditandai dengan pembentukan “Tim Khusus Diperluas”. Terdiri dari Tim 9 (panitia pengadaan tanah beranggota 9 orang) dan DPRD (8 orang). Dengan demikian, jumlah anggotanya 17 orang. Tim ini bisa dinamakan juga Tim 17.
Apa pun namanya (tim khusus diperluas, diperlebar, dipertebal, diperdalam, diperbanyak, dst) dan berapa pun jumlah anggotanya (sekarang 17, besok-besok bisa 71), bukan soal utama. Yang penting bekerja efektif. Tim 17 melakukan pendekatan budaya melalui tata cara adat Lio yang difasilitasi mosalaki. Tujuannya, kasus ganti rugi tanah cepat selesai sehingga proyek PLTU Ropa bisa dilanjutkan. Siapa mosalaki setempat? Tibo Migo. Dia adik kandung almarhum Adrianus Paso Pande, ayahanda Alex Mari. Alex tokoh kunci dalam kasus Ropa. Uang ganti rugi yang merupakan hak 11 pemilik tanah berada di tangannya. Ia terima dari PLN selaku pemilik proyek dalam kerja sama dengan Tim 9 selaku fasilitator. Ketika uang-uang itu diminta agar diserahkan kepada yang berhak, ia dan keluarga menolak. Alasannya, 11 orang itu tidak punya hak. Mereka bukan pemilik tanah, tapi penggarap. Tanah-tanah itu milik keluarganya. Sertifikat tanah atas nama 11 orang itu tidak sah. Alex dan keluarga tidak hanya tidak menyerahkan uang kepada orang-orang itu, tapi juga menuntut agar sebagian uang yang sudah diterima oleh 7 orang segera diserahkan kepadanya. Ke-11 orang itu pun mereka usir agar secepatnya keluar dari lokasi, keluar dari persekutuan adat.
Dari sisi budaya setempat, apa arti semuanya ini? Alex Mari dan keluarga telah bertindak seolah-olah sebagai mosalaki. Padahal, yang mosalaki hanya Adrianus Paso Pande ayah mereka. Itu dulu, saat sang ayah masih hidup. Kini yang menjadi mosalaki adalah Tibo Migo. Sikap dan tindakan Alex Mari dan keluarga, terutama dengan kata-kata pengusiran terhadap 11 orang, memperlihatkan pelanggaran adat yang sangat serius. Bertindak seolah-olah sebagai mosalaki sama artinya dengan merampas wewenang mosalaki, meremehkan, tidak mengakui, bahkan menganggap tidak ada mosalaki yang sesungguhnya.
Pelanggaran adat ini jugalah yang dilakukan Tim 9 dan PLN ketika tidak melibatkan mosalaki Tibo Migo sejak awal proses pangadaan tanah bagi PLTU Ropa. Mereka urus saja dengan Alex Mari, padahal orang ini bukan mosalaki. Tim 9 dan PLN telah bertindak tidak cermat sehingga memberi kesan turut meremehkan, tidak mengakui, bahkan menganggap tidak ada mosalaki Tibo Migo.
Karena itu, kalau mau bikin pendekatan budaya, apalagi dengan fasilitasi seorang mosalaki, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengaku bersalah dan minta maaf secara adat. Pulihkan dulu kehormatan mosalaki yang telah diinjak-injak. Tanpa langkah ini, pendekatan budaya ala Tim 17 kehilangan makna budayanya.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 24 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar