Oleh Frans Anggal
Menanggapi penolakan korem di Flores, Dandim 1602 Ende Letkol Inf M Shokil mengatakan riak penolakan itu wajar-wajar saja dan tidak menjadi masalah. TNI sebagai pengguna rencana program pembangunan pertahanan nasional tidak mendasarkan keputusannya pada riak penolakan. Pembangunan korem merupakan kebutuhan nasional yang dilakukan melalui kajian, baik dari sisi keamanan maupun kesejahteraan secara umum.
Terbetik kesan, TNI tidak mau tahu, korem harus jadi. Sejak Orde Baru hingga era reformasi, sikap dasar TNI dalam memahami diri dan kekuasaan serta hubungannya dengan warga tidak berubah. Tidak pedulikan riak penolakan masyarakat menunjukkan sikap arogan. Sementara, dasar pendirian korem karena kebutuhan nasional yang dilakukan melalui kajian, tidak cukup kuat dan meyakinkan masyarakat. Penolakan sejak 1999 justru merontokkan semua alasan yang pernah dikemukakan.
Kalau alasan dinilai tidak kuat dan tidak meyakinkan maka segala pernyataan dan upaya agar korem masuk Flores tak lebih daripada pemaksaan kehendak saja. Yang ada di balik pemaksaan seperti itu adalah klaim monopoli kebenaran. Bukankah kita belum sepenuhnya keluar dari kebangkrutan yang dibuat oleh rezim Soeharto, pemilik tunggal kebenaran, yang mencekik mati demokrasi?Pada masa Orde Baru, komando teritorial (kodam, korem, kodim, koramil, babinsa) merupakan pilar militerisme yang paling represif ketimbang pilar-pilar lain. Tujuannya adalah menjaga stabilitas dan keamanan. Alasan ini ternyata dipakai secara manipulatif untuk melegitimasi berbagai tindak kekerasan.
Menurut R. William Liddle (2001), kerangka komando teritorial mula-mula dibangun pada 1950-an dengan alasan memelihara hubungan revolusioner antara kaum serdadu dan rakyat, ternyata meliputi fungsi pemantauan politik dan kepolisian sekaligus. Di masa Orde Baru, komando teritorial digunakan untuk menjamin supaya pejabat sipil menjalankan tugas Golkar, misalnya mengamankan kampanye Golkar sambil menghalang-halangi kampanye PPP dan PDI.
Sekarang, untuk apa lagi komando teritorial? Lebih jauh, mengapa dan untuk apa korem masuk Flores? Demi stabilitas dan keamanan? Apa sesungguhnya ancaman riil terhadap stabilitas dan keamanan itu? Apakah betul kehadiran tentara dalam jumlah banyak, dengan kulturnya seperti yang dikenal selama ini, identik dengan terciptanya stabilitas dan keamanan?
Kita tidak membenci TNI. Kita hanya tak rela di pulau kecil ini ditempatkan tentara dalam jumlah sangat banyak tanpa urgensi kebutuhan warga dan alasan masuk akal. Apakah warga miskin, kekurangan lahan, dan sering rawan pangan ini membutuhkan korem? Tidak. Mereka lebih membutuhkan tanah dan pangan.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 12 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar