Oleh Frans Anggal
Lima paket cabup-cawabup Sikka telah diuji keberterimaannya oleh rakyat pada pilkada Rabu 16 April 2008. Hasil sementara sudah tampak. Siapa pun yang menang, ditetapan, dan dilantik menjadi bupati dan wakil bupati, hendaknya menjadi pemimpin demokratis.
Kita menyebut ‘pemimpin demokratis’ dengan maksud membedakannya dari ‘pemimpin panutan’. Sosiolog Ignas Kleden menjelaskannya secara bagus.
Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar. Memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata. Dengan pengandaian semacam itu muncul ketidak-adilan yang diperlakukan pada diri sang panutan. Ini artinya, kalau sang panutan bertingkahlaku baik dan benar, maka hal itu diterima sebagai kenyataan yang serba biasa. Sebaliknya, kalau dia melakukan suatu kesalahan maka segera saja dia dianggap mengecewakan harapan banyak orang. Dia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa yang kadangkala tak berhasil mengatasi kelemahannya sendiri.
Paham ini diubah secara radikal dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide utama tentang persamaan setiap orang. Selain mengakui persamaan di depan hukum, secara implisit demokrasi mengandaikan adanya semacam persamaan dalam moralitas. Artinya, demokrasi tidak mengandaikan bahwa semua orang mempunyai kebajikan yang sama, tetapi orang-orang dengan kebajikan yang berbeda-beda itu dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya kalau mereka mempunyai kekuasaan di tangannya. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat.
Karena itu, dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa seorang pemimpin politik haruslah seorang panutan. Bahkan, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cela atau bebas dari segala cacat. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik pengawasan melalui hukum maupun kontrol sosial oleh para warga. Pemimpin yang baik harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai keberanian untuk mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut.
Mudah-mudahan yang memimpin Sikka lima tahun ke depan adalah pemimpin demokratis. Pengentasan Sikka dari lumpur kemiskinan membutuhkan pemimpin yang berkualifikasi seperti ini.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 17 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar