Oleh Frans Anggal
Delapan keuskupan, masing-masing lima dari Indonesia dan tiga dari Malaysia, bertemu di Nunukan, membahas nasib TKI ilegal di Malaysia Timur. Pertemuan ini merekomendasikan banyak hal, antara lain perlunya pihak keuskupan asal para TKI menjalin kerja sama dengan pemerintah, LSM, dan semua pihak terkait untuk mempersiapkan para calon TKI.
Selama ini, banyak calon TKI berangkat begitu saja ke Malaysia. Mereka tidak mendapat informasi yang benar dan lengkap tentang lowongan kerja, daerah tujuan, kelengkapan dokumen (paspor dan visa), besar gaji, dll. Mereka mudah ditipu, dipermainkan, dan diperas. Mereka menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
Jumlah mereka terus bertambah. Hingga kini, total TKI ilegal asal Indonesia 88 ribu orang. Dari Keuskupan Larantukan 27 ribu, Keuskupan Maumere 15 ribu, dan Keuskupan Agung Ende 10 ribu.
Sebagai TKI ilegal, mereka digaji rendah. Sekarang sehari 8 ringgit, sama dengan 10-15 tahun lalu. Bandingan dengan harga sebungkus rokok 2 ringgit lebih. Di Pulau Sebatik, dengan upah di kebun cokelat 8 ringgit sehari, para buruh migran masih harus membayar 100 ringgit untuk listrik. Beras harus dibeli di tempat yang sudah ditentukan dengan harga 150% lebih mahal dari harga pasar.
Anak-anak mereka tidak bersekolah. Fasilitas sekolah negeri yang disubsidi penuh oleh pemerintah Malaysia tidak dapat dinikmati anak yang bukan warga negara Malaysia. Sementara itu masuk ke sekolah-sekolah swasta juga sulit. Selain lokasinya jauh dari tempat tinggal, biaya pendidikan tidak terjangkau. Karena tidak bersekolah, saat dewasa anak-anak ini hanya bisa bekerja seperti orangtua mereka, menjadi buruh di perkebunan atau pabrik kayu. Hingga kini jumlah yang tidak bersekolah mencapai 71 ribu anak.
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Menjadi TKI ilegal sudah sama artinya dengan membunuh hak-hak dasar anak, membunuh masa depan mereka. Anak seakan dilahirkan hanya untuk menjadi miskin, menderita, bodoh, terasing, dan terbuang. Ini penistaan dan perendahan serius terhadap harkat dan martabat manusia.
Karena itu, kita mendukung langkah Komisi Migran dan Perantau Konferensi Waligereja Indonesia yang pada 2008 dan 2009 memusatkan perhatian pastoralnya pada perdagangan manusia. Perdagangan manusia telah merendahkan martabat manusia. Sungguh, diperlukan tindakan nyata bersama memperjuangkan harkat martabat manusia guna mengembalikan hakikatnya sebagai citra dan gambaran Allah.
Gereja, pemerintah, dan semua pihak perlu bersatu membantu dan memperhatikan para TKI ilegal, para korban trafficking. Perlu dibangun kerja sama dalam penyuluhan dan pemberdayaan fasilitas pelatihan bagi peningkatan sumber daya buruh migran.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 5 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar