12 Maret 2009

Ironi Kemanusiaan

Oleh Frans Anggal

RSUD Maumere merawat intensif seorang bayi busung lapar. Berat badan balita berusia 3 tahun 9 bulan itu cuma 8 kg, idealnya 15 kg. Selama ini sang bayi dirawat ayahnya seorang diri, sedangkan ibunya di Kalimantan Timur mencari nafkah. Asupan gizi yang diberikan sangat kurang. Ini karena persediaan makanan dalam keluarga sudah tidak cukup lagi. Makan sekadar mengganjal perut, gizi soal kedua. Dalam kasus ini dan sebagian besar kasus di NTT, penyebab busung lapar adalah kekurangan pangan.

Ini sebuah ironi kemanusiaan. Busung lapar terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam. Dilihat dari tujuan hidup bernegara, keadaan ini membuktikan kegagalan negara. Tujuan pendirian sebuah negara adalah untuk menyejahterakan warga. Untuk itu maka segala peraturan, keputusan, dan kebijakan penguasa negara---dalam hal ini pemerintah---haruslah berdampak menyejahterakan semua lapisan masyarakat secara adil.

Sisi keadilan atau pemerataan inilah yang masih timpang setelah 62 tahun kita merdeka. Pembangunan masih terpusat di Indonesia bagian barat, khususnya Jawa dan Sumatera. Hasil Sensus Ekonomi 2006 memperlihatkan, Jawa mendominasi jumlah perusahaan/usaha (64 persen), disusul Sumatera (18 persen). Secara keseluruhan, jumlah perusahaan/usaha di kawasan barat Indonesia 83 persen, sedangkan kawasan timur Indonesia (katimin) hanya 17 persen.

Lambatnya perkembangan perusahaan/usaha di katimin dikarenakan belum memadainya infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi, seperti jalan, listrik, telepon, lembaga keuangan, kantor pemasaran, dan pelabuhan laut. Kondisi itu diperparah dengan kualitas sumber daya manusia yang masih rendah. Tidak banyak investor yang menanamkan modalnya di kawasan ini.

Padahal, katimin memiliki potensi yang luar biasa, sementara jumlah penduduknya masih jarang. Luas wilayah Jawa-Bali hanya sekitar 30,96 persen dari total luas Indonesia (1.860.359,67 kilometer persegi). Ini berarti lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia berada di luar Jawa-Bali.

Ketimpangan ini merupakan kelalaian negara, dalam hal ini pemerintah pusat. Sudah saatnya pembangunan katimin dipercepat. Pemerintah tidak boleh membiarkan kesejahteraan penduduk di wilayah ini berjalan di tempat. Percepatan pengembangan katimin diperkirakan akan membuka kesempatan kerja. Kisah bayi busung lapar di RSUD Maumere adalah juga kisah tentang kurangnya lapangan kerja sehingga sang ibu harus menjadi TKW di Kaltim.

Selagi pembangunan negeri ini hanya berpusat di barat, rawan pangan, gizi buruk, dan busung lapar akan selalu berulang di NTT. Selain menjadi ironi kemanusiaan di tengah kekayan alam yang melimpah, busung lapar melunturkan rekatan kita sebagai bangsa.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 19 Maret 2008

Tidak ada komentar: