25 Maret 2009

Jangan Cari Gampang

Oleh Frans Anggal

Seratusan warga Dusun Nangarawa, Desa Bamo, Kecamatan Kotakomba, Kabupaten Manggarai Timur, minta pendampingan Komisi JPIC SVD dan Keuskupan Ruteng dalam perjuangan menolak rencana tambang pasir besi. Mereka tidak mempercayai sosialiasi pemerintah bahwa tambang membawa berkah bagi masyarakat. Sebaliknya, menurut mereka, tambang itu kutukan, merusak lingkungan, kehidupan sosial, dan budaya warisan leluhur, antar lain kebhu (ritus tahunan hasil laut).

Tampaknya, sikap masyarakat sulit diubah. Sosialisasi pemerintah tidak dipercayai lagi. Sebab, belum ada contoh nyata yang membuktikan tambang pasir besi menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, contoh buruknya amat banyak.

Begitu pasir besi mulai ditambang, mata pencaharian warga pasti terganggu. Eksploitasi menghancurkan biota laut yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian nelayan sekitar perairan. Masyarakat yang memiliki lahan sekitar lokasi dirugikan pula dengan abrasi dan meluapnya air laut. Bencana ini sudah dialami warga Desa Pai, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Provinsi NTB.

Kini, bencana yang sama mau didatangkan ke Manggarai Timur. Apa pun caranya, tetap saja lingkungan dan masyarakat dikorbankan.

Ada tiga cara menambang pasir besi di pantai atau lepas pantai. Cara pertama, mengambil langsung dari pantai secara manual menggunakan cangkul atau sekop. Setelah dikumpulkan, lalu dipikul untuk dibawa ke truk yang siap angkut. Ini dilakukan PT Maktal di Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya.

Cara kedua, menggali dari gumuk pasir atau hamparan daerah pesisir yang tidak jauh dari pantai. Biasanya jarak antara hamparan itu kurang lebih 300-500 meter. Penggali membuat galian dengan berbagai ukuran, dan biasanya setelah tergali sedalam tiga meter baru muncul pasir besi. Ini dilakukan PT Omega, PT Villa Husen Indonesia, dan PT Jassmas di Cipatujah.

Cara ketiga, mengambil dari lepas pantai dengan cara disedot menggunakan kapal. Cara ini dilakukan di Cimerak, Kabupaten Ciamis, atau juga oleh PT Jassmas di Cipatujah.

Semua cara pengambilan itu mengandung risiko kerusakan lingkungan. Mulai dari abrasi, pesisir pantai amblas, hingga rusaknya biota laut. Apalagi bila pengambilannya dilakukan jor-joran.

Karena itu, sangat tepat sikap warga Nangrawa menolak tambang pasir besi. Kita berharap JPIC menjadi pendamping setia. Pemkab Manggarai Timur perlu disadardinikan. Jangan suka cari gampang mengemukkan pundi-pundi daerah. Carilah cara yang kreatif dan inovatif tanpa merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 18 September 2008

Tidak ada komentar: