Oleh Frans Anggal
Suku Odel di Lembata membatalkan penyerahan tanah yang telah dilakukan enam suku dari Tua Mado. Tanah itu diserahkan kepada pemerintah oleh enam suku untuk usaha pertambangan emas PT Merukh Enterprise. Penyerahan tidak sah karena dilakukan oleh pihak yang tidak berhak. Berdasarkan sejarah, bukti, dan saksi, tanah itu sesungguhnya milik suku Odel.
Bupati Lembata dinilai tidak hati-hati karena menerima dengan sukacita tanah yang kabur status hukumnya. Semestinya pemerintah telebih dahulu melakukan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan. Juga meneliti dokumen yang mendukungnya. Melalaikan langkah ini bisa membawa akibat buruk. Citra pemerintah sendiri jadi rusak. Lebih daripada itu, sikap tidak hati-hati bisa melahirkan konflik horizontal dalam masyarakat.
Yang mencuat dari kasus ini bukan hanya perihal ketidak-hati-hatian. Ada yang jauh lebih serius, yaitu kegiatan pemerintah yang melanggar aturan. Ada dua aturan dilanggar.
Dalam Kepmen-Agra/Ka.BPN 21/1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal disebutkan, pihak perusahaanlah yang semestinya langsung berhubungan dengan pihak-pihak yang menguasai tanah-tanah yang hendak dikuasainya. Di Lembata, sebaliknya. Bukan PT Merukh Enterprise yang sibuk cari tanah, tapi pemerintah. Pemerintah begitu jauh serta rela menutup mata, telinga, dan hati terhadap reaksi penolakan masyarakat, hanya agar Merukh mendapatkan tanah lokasi tambang. Investor aman-aman tunggu hasil, pemerintah pontang-panting berhadapan dan bersitegang dengan masyarakat. Sulit menghapus kesan, pemerintah sudah menjadi abdi investor, bukan lagi abdi masyarakat.
Pelanggaran aturan semakin berlipat kalau kita menyimak Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pertambangan tidak masuk dalam kategori kepentingan umum. Dengan demikian, pemerintah Lembata tidak diperkenankan menurut hukum untuk turut terlibat dalam urusan pelepasan hak atas tanah-tanah (adat) untuk kepentingan perusahaan penambang. Urusan pelepasan hak atas tanah itu merupakan urusan perusahaan. Di Lembata, jadi lucu. Untuk mendapatkan tanah lokasi tambang, pemerintah memerankan diri seakan-akan sebagai kaki tangan perusahaan. Pengusaha tambang tinggal tunggu hasilnya saja. Ia tidak perlu sibuk-sibuk cari tanah, karena sudah ada ‘anak buah’ di Lembata yang kini sedang berkerja keras untuk memenuhi keinginannya.
Kita berharap Pemkab Lembata menghentikan aksinya yang melanggar aturan ini. Juga jangan menjadi abdi investor.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 29 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar