Oleh Frans Anggal
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Maumere dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) menuntut pemerintah daerah dan DPRD di seluruh NTT menolak rencana pembentukan korem di Flores dan penempatan 4 batalyon di 4 kabupaten di NTT. Menurut LMND dan Papernas, tidak ada alasan kuat bagi TNI-AD memperluas struktur komando teritorial di NTT.
Tepat sekali. Jangankan di NTT, di seluruh Nusantara sekalipun strategi pertahanan berdasarkan komando teritorial (koter) sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Koter berakar pada strategi perang gerilya menghadapi Belanda dalam perang kemerdekaan. Dalam perang gerilya, dukungan luas seluruh masyarakat mutlak diperlukan. Strategi yang digunakan untuk menggalang dukungan adalah menyusun hierarki militer yang paralel dengan birokrasi pemerintahan sipil. Di tingkat nasional ada markas besar TNI. Pada tingkat propinsi ada komando daerah militer (kodam). Di bawah kodam ada komando resor militer (korem) yang membawahkan beberapa komando distrik militer (kodim) pada tingkat kabupaten. Selanjutnya kodim membawahkan komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan, dan pada tingkat desa dikenal bintara pembina desa (babinsa).
Pada saat perang gerilya, hierarki teritorial ini mengambil alih birokrasi sipil. Hierarki ini bertugas memobilisasi seluruh potensi dan sumber daya yang diperlukan selama perang berlangsung.
Di era kemerdekaan, terutama di bawah rezim Orde Baru, koter difungsikan untuk memenangkan Golkar guna melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Pilar yang bangun adalah militerisme. Dan koter dijadikan pilar militerisme paling represif.
Ketika Orde Baru tumbang, pilar ini dipertanyakan. Koter dinilai tidak sejalan lagi bahkan bertolak belakang dengan spirit reformasi. Reformasi menghendaki tegaknya demokrasi yang berkedaulatan rakyat dengan paradigma “kedaulatan sipil atas militer”. Atas dasar itu, militer tidak perlu lagi membangun hierarki yang paralel dengan birokrasi pemerintahan sipil. Sipil-lah yang berdaulat.
Sekarang koter digencarkan kembali, dasarnya apa dan untuk maksud apa? Bukankah langkah ini bisa membuka peluang bagi kembalinya “dwifungsi ABRI” berwajah lain yang memungkinkan TNI mengintervensi politik? Bila ini yang terjadi maka demokrasi berkedaulatan rakyat bisa saja mati muda. Demikian pula, supremasi sipil yang kini sedang menguncup bisa layu terkulai sebelum berkembang mekar.
Pemerintah dan DPRD di NTT harus menolak korem. Jangan membuka peluang mengulang sejarah. Jangan merelakan diri masuk dalam Orde Baru Jilid Dua. Tugas “melakukan pembinaan teritorial” sudah ada di tangan pemerintahan sipil. Jangan dilepas lagi.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 1 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar