Oleh Frans Anggal
Dalam rapat gabungan komisi DPRD NTT, Danrem 161/Wira Sakti Kupang Wilston Simanjuntak mengatakan, masyarakat yang menolak kehadiran korem adalah mereka yang melandasi pertimbangannya pada wawasan politik. Masyarakat yang memahami wawasan kebangsaan sangat menerima kehadiran korem.
Tidak jelas, kabur, dan membingungkan apa yang dimaksudkan danrem dengan ‘wawasan politik’ dan ‘wawasan kebangsaan’. Ketidakjelasan seperti ini terjadi berulang kali sejak 1999, ketika korem dari Dili mau dipindahkan ke Flores. Malah bukan hanya kekaburan dalam istilah, tapi juga kekacauan dalam argumentasi dan informasi. Danrem dan kodim berganti, berubah-ubah pula alasan dan informasi yang disampaikan kepada masyarakat.
Kekacauan seperti ini terjadi karena argumentasi yang dikemukakan TNI AD selalu dipatahkan kesahihannya setelah diuji secara kritis oleh masyarakat. Kandas argumentasi yang satu, muncul argumentasi yang lain. Argumentasi demi argumentasi selalu bisa dipatahkan. Masyarakat akhirnya semakin sadar bahwa sesunggunya tidak ada alasan yang kuat dan meyakinkan perlunya mendirikan korem. Dari kesadaran seperti ini lahir kayakinan bahwa justru karena tidak kuat dan tidak meyakinkan maka alasan demi alasan datang silih berganti.
Kalau alasannya tidak kuat dan tidak meyakinkan, mengapa korem mesti didirikan? Dugaan masyarakat pun semakin menguat bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Dan yang disembunyikan itu boleh jadi keberlanjutan dari masa lalu yang belum sepenuhnya hilang bersama jatuhnya rezim Orde Baru. Masyarakat jadi khawatir.
Di masa lalu, korem atau lebih luas komando teritorial (koter) berandil mengakarkan militerisme di Indonesia. Ada empat pilar militerisme. Pertama, kekaryaan, yaitu jabatan publik yang diduduki oleh anggota ABRI aktif. Kedua, komando teritorial (kodam, korem, kodim, koramil, dan babinsa). Ketiga, bisnis TNI yang sudah dikembangkan sejak zaman Orde Lama. Keempat, kedudukan TNI di bawah presiden dan posisi Panglima TNI dalam pengambilan keputusan politik.
Yang paling represif dari keempat pilar itu adalah koter. Lembaga ini dibentuk selevel dengan struktur pemerintahan sipil, dari mabes di pusat hingga babinsa di desa. Kini, struktur yang berbasis konsep dwifungsi ABRI ini bertentangan dengan salah satu amanat reformasi: menegakkan demokrasi berkedulatan rakyat.
Dalam demokrasi berkedaulatan rakyat, sipillah yang mengontrol militer. Maka koter seharusnya dibubarkan. Yang mencengangkan kita, alih-laih dibubarkan, koter malah berkembang biak dengan pendirian korem di sana sini, termasuk yang mau masuk Flores.
Ada apa dan untuk apa? Tak ada jawaban yang kuat dan meyakinkan. Dari sanalah lahir kekacauan argumentasi.
"Bentara" FLORES POS, Senin 12 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar