Oleh Frans Anggal
Tim Polres Sikka menggagalkan pemberangkatan 83 pencari kerja asal Sikka tujuan Tarakan, Kalimantan Timur. Para calon buruh ini tidak memiliki dokumen lengkap. Konon mereka akan bekerja di sektor kelapa sawit dan tanaman kayu kertas di Tarakan. Sebelum dipulangkan ke kampung asal, mereka menjalani pembinaan seputar kelengkapan dokumen dan hal-hal teknis.
Untung saja pemberangkatan para pencari kerja ini berhasil digagalkan. Apa jadinya kalau mereka lolos? Seperti yang banyak terjadi selama ini, Kalimantan Timur sering dijadikan sekadar tempat transit. Dari Kalimantan Timur para pencari kerja mudah menyeberang ke Malaysia sebagai TKI ilegal. Dan kalau itu yang terjadi maka ke-83 pencari kerja hanya akan memperbanyak buruh migran ilegal asal Indonesia yang kini sudah mencapai 88 ribu orang. Khusus dari Keuskupan Larantuka (Flotim dan Lembata) 27 ribu, dari Keuskupan Maumere (Sikka) 15 ribu, dan dari Keuskupan Agung Ende (Ende, Nagekeo, Ngada) 10 ribu.
Kita tidak menyatakan menjadi buruh migran itu jelek. Patut diingat, para TKI terpaksa meninggalkan keluarga dan orang yang mereka cintai, mengadu nasib di negeri orang, karena negara belum mampu memberikan peluang kerja yang layak bagi mereka. Mereka turut menginvestasikan hasil keringat dan air matanya untuk pendidikan, kesehatan, sandang, dan perumahan serta modal kecil untuk usaha keluarganya, yang tidak dibantu oleh pemerintah dalam APBN/APBD atau perbankan. Dengan caranya, TKI sebenarnya turut meringankan kewajiban pemerintah dalam APBN atau perbankan. Mereka ikut meringankan kewajiban pemerintah menyejahterakan rakyat. Mereka tidak membikin negara ini bangkrut. Yang bikin bangkrut justru para politisi busuk dan konglomerat hitam.
Pekerjaan para TKI itu luhur. Kita hanya prihatin ketika mereka terpaksa menjadi TKI ilegal. Prosedur yang berbelit-belit serta biaya yang mahal sering menjadi pemicu jalan pintas. Dalam keluguan akibat kurangnya pendidikan, keterampilan, dan akses informasi, mereka sering menjadi objek penipuan, pemerasan, dan perbudakan. Mereka gampang menjadi korban perdagangan manusia (trafficking).
Dalam konteks ini, langkah yang ditempuh Polres Sikka sudah tepat. Namun, mencegah atau membatalkan pemberangkatan saja tidaklah cukup. Pemerintah dalam kerja sama dengan berbagai pihak perlu menyadarkan masyarakat dan mempersiapkan para calon TKI secara baik. Perhatian Gereja yang lebih intens terhadap buruh migran dan perantau pun sangat diharapkan. Pada 2008 dan 2009 Komisi Migran dan Perantau KWI memusatkan perhatian pastoralnya pada perdagangan manusia. Sayangnya, hingga pertengahan 2008 ini, gema pastoralnya belum terasa di tingkat umat basis. Gereja perlu bekerja lebih keras untuk bidang pastoral yang satu ini.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 9 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar