25 Maret 2009

Perda Janji Politik

Oleh Frans Anggal

Sehari lagi, pilkada Ende memasuki masa kampanye. Sesuai dengan amanat PP 6/ 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kampanye hari pertama dilakukan dalam rapat paripurna DPRD dengan cara penyampaian misi, visi, dan program dari pasangan calon secara berurutan dengan waktu yang sama tanpa dialog.

Kalau mau jujur, kampanye hari pertama ini bukanlah kampanye yang pertama. Jauh sebelum itu, para kandidat sudah beraksi, dengan nama sosialisasi. Kegiatannya ditandai kedermawanan: bagi-bagi sembako, potong sapi, dan lain-lain. Para kandidat sudah mencuri start kampanye jauh-jauh hari.

Curi start kampanye sulit ditindak. Sebab, secara hukum praktik seperti itu belum memenuhi syarat-syarat kampanye. Pertama, pelaku sosialisasi belum terdaftar di KPU sebagai calon bupati/wakil bupati. Kedua, tahapan kegiatan pilkada belum dimulai. Ketiga, pengertian kampanye menurut UU Nomor 32/2004 adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon.

Karena lama dan leluasanya kampanye terselubung maka waktu dua minggu untuk kampanye sesungguhnya tidak akan banyak mengubah dukungan yang sudah diraih. Bagi calon pemilih yang tidak rasional, sentimen kewilayahan, subkultur, subetnis maupun agama dan lain-lain tetap sangat berperan. Pemaparan visi, misi, dan program kerja pasangan kandidat saat kampanye sesungguhnya menjadi tidak begitu penting lagi bagi mereka.

Menyadari kelemahan calon pemilih seperti ini, banyak kandidat tidak fokus lagi pada visi, misi, dan program seusai pemaparan dalam rapat paripurna DPRD. Malah visi-misi-program sekadar formalitas. Yang lebih penting bagi mereka adalah taktik untuk menang. Di sini peran konsultan kampanye dan tim sukses menjadi penting.

Salah satu taktik yang lazim digunakan adalah taktik “deliberate priming”. Taktik ini diawali dengan analisis positioning kandidat, kemudian masuk ke dalam tiga tahapan utama, yaitu (1) penentuan isu-isu yang dianggap penting sesuai dengan segmen pemilih yang diincar, (2) penentuan isu utama yang paling menguntungkan kandidat, dan (3) melakukan rekayasa citra kandidat agar sesuai dengan isu persoalan yang dipilih.

Kalau sudah menang, taktik dicampakkan. Nasib yang sama menimpa visi, misi, dan program. Janji tinggal janji. Karena itu, sebaiknya visi-misi-program dijadikan janji politik dan dicantumkan dalam perda. Jika janji dilanggar, DPRD harus bertindak. Masyarakat pun bisa melakukan class action atau langsung mengadu ke polisi karena kepala daerah telah ingkar janji. Bisakah Ende memulainya?

"Bentara" FLORES POS, Rabu 24 September 2008

Tidak ada komentar: