Oleh Frans Anggal
Kelompok Peduli HAM Perempuan Kabupaten Sikka berdemo ke DPRD, menolak RUU Pornografi. Menurut kelompk ini, RUU Pornografi mendiskreditkan dan mengkriminalkan perempuan. RUU ini tidak menghargai keanekaragaman budaya, dan karena itu berpotensi memecah belah NKRI.
RUU Pornografi diusulkan oleh DPR. Pembahasannya sudah dimulai sejak 1997. Sedianya, RUU ini disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR 23 September 2008. Rencana ini tidak terlaksana karena kuatnya penolakan dari banyak elemen masyarakat seperti aktivis perempuan, seniman, artis, budayawan, dan akademisi. Juga, penolakan dari berbagai daerah seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua.
Alasan penolakan, antara lain seperti dikemukakan Kelompok Peduli HAM Perempuan Kabupaten Sikka. Pertama, RUU Pornografi menyudutkan dan berpotensi mengorbankan perempuan. RUU ini menganggap moral bangsa dirusakkan oleh kaum perempuan yang tidak sopan di hadapan laki-laki. Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang bersalah, yang bertanggung jawab terhadap kejahatan seksual. Menurut logika patriarkis RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi adalah seksualitas dan tubuh perempuan. Dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia dan kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.
Kedua, RUU Pornografi tidak menghargai keanekaragaman Indonesia. RUU ini menganggap negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara ini berdiri di atas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budaya, bahasa, dan agama. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
Ketiga, penyeragaman budaya ala RUU Pornografi tidak mustahil akan memecah belah keutuhan NKRI. Pernyataan ingin memisahkan diri dari KNRI bila RUU ini diundangkan sudah bergema dari beberapa daerah.
Selain menimbulkan banyak dampak negatif, RUU ini tidak diperlukan. Pornografi sendiri sudah diatur dalam KUHP dan UU lain. Lebih tepat dan mendesak adalah menegakkan hukum yang sudah ada, bukan membuat UU baru. Lagipula, di tengah masih carut marutnya ekonomi sosial bangsa, masih banyak masalah mendasar lain yang lebih mendesak dan penting untuk diperhatikan. RUU Pornografi selayaknya dicampakkan. Tempatnya yang tepat bukan ruang paripurna DPR, tapi tong sampah. RUU sampah.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 25 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar