Oleh Frans Anggal
Flores Pos memberitakan, beberapa parpol akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menentukan calon anggota legislatif terpilih pada pemilu 2009. Di antaranya, PAN dan Partai Golkar.
Mengapa pakai sistem suara terbanyak dan bukan nomor urut? Konon, sistem nomor urut hanya melestarikan hegemoni partai. Terutama hegemoni segelintir elite partai di kepengurusan. Tanpa susah payah, mereka mudah menjadi anggota legislatif walaupun tidak ada yang memilih. Sistem nomor urut juga menjadi ajang korupsi politik. Yang memiliki uang akan mudah membayar partai untuk memperoleh nomor-nomor prioritas. Sistem ini melahirkan banyak cukong politik yang terus-menerus diperas parpol.
Kata mereka, sistem suara terbanyak pilihan paling bagus. Yang menjadi anggota legislatif adalah mereka yang betul-betul memenangi mayoritas suara pemilih. Di sini pemilu menemukan hakikatnya, yaitu memilih, bukan menunjuk.
Benar juga. Tapi, apa dasar hukumnya? UU No 10/2008 tentang Pemilu menetapkan, calon terpilih ditentukan berdasarkan 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut. Artinya, jika caleg tidak memenuhi 30 persen dari BPP maka penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut.
Meski demikian, kata mereka, peluang tetap terbuka. Pasal 218, poin (1) dan (3) memberi celah. Parpol bisa membuat kesepakatan internal, bila perlu dengan mengubah AD/ART seperti dilakukan PAN, bahwa caleg yang duduk adalah peraih suara terbanyak. Caranya, caleg terpilih berdasarkan nomor urut harus mengundurkan diri untuk diganti caleg peraih suara terbanyak.
Kesepakatan internal seperti ini pernah dibuat Partai Golkar Manggarai pada Pemilu 2004. Hasilnya? Konflik internal. Andaikata setelah pemilu para calon berubah pikiran lalu menggugat keputusan partai, dasar hukum apa yang akan menyelesaikan konflik? UU Pemilu atau kesepakatan internal partai?
Menurut hierarki hukum, kesepakatan internal partai berkedudukan lebih rendah daripada UU. Karena itu, kalau KPU kemudian menganulir kesepakatan internal partai, ia tak bisa disalahkan. Ia harus melaksanakan UU. Ia justru akan digugat jika tidak melaksanakan UU karena ingin menaati kesepakatan intenal partai.
Idealnya, kalau mau ubah sistem, ubah dulu UU Pemilu. Paling tidak ditambahkan dalam UU itu bahwa KPU membuka ruang bagi partai memberlakukan kesepakatan internal dalam menentukan calon terpilih. Atau, dibikin peraturan pemerintah pengganti UU (perpu).
Lucunya, saat membahas rancangan UU Pemilu, parpol-parpol tadi justru mendukung sistem nomor urut. Eh, sekarang malah mau pakai sistem suara terbanyak. Ada apa? Jangan-jangan benar dugaan, ini cuma taktik parpol menarik simpati masyarakat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 22 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar