Oleh Frans Anggal
Pembangunan korem di Ende ditunda ke 2010. Semula direncanakan tahun 2008. Penundaan terkait dengan pemotongan anggaran pertahanan 15 persen oleh pusat. Demikian kata Danrem 161 Wirasakti, Kolonel Inf Winston Pardamian Simanjuntak, saat tatap muka dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat di Ende.
Kalau benar penundaan itu karena keterbatasan anggaran maka sudah saatnya kita persoalkan juga keberadaan komando teritorial (koter) umumnya dari sisi anggaran.
Menurut laporan International Crisis Group (ICG) No. 10/1999, personel TNI di kodam, korem, kodim, dan koramil diperkirakan 150.000 orang. Namun sebagian besarnya tidak siap tempur karena tentara di koter lebih banyak mengurus administrasi dan birokrasi.
Laporan ICG memperkirakan 60% atau 90.000 prajurit tidak siap tempur. Bila mereka ini dirumahkan dalam kurun waktu tertentu, maka anggaran yang bisa dihemat Rp135 miliar per bulan (berdasarkan perkiraan gaji satu prajurit plus tunjangannya Rp1,5 juta). Dalam satu tahun, dana yang dihemat Rp1,62 triliun atau sekitar 10% dari anggaran pertahanan yang berkisar Rp15-16 triliun per tahun. Ditambah dengan penghematan dari biaya operasional struktur teritorial, maka penghapusan koter akan sangat mengirit anggaran pertahanan yang terbatas itu.
Bila koter dihapus, lalu? Penghapusan koter bisa dilakukan bersamaan dengan pengubahan postur angkatan darat menjadi kesatuan tempur yang bisa digelar cepat. Dalam perang modern, yang diperlukan bukan jumlah tentara yang besar, tapi kemampuan menggelar pasukan secara cepat (rapid deployment). Efektivitas strategi perang ini diperlihatkan oleh Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, strategi penggelaran pasukan secara cepat perlu dipikirkan. Tidak hanya demi efektivitas menghadapi musuh dari luar, tapi juga untuk mengatasi konflik dalam negeri. Selama ini, untuk mengatasi konflik di Aceh, Papua, dan Ambon misalnya, kodam justru meminta tambahan pasukan dari kesatuan tempur. Bahkan karena keterbatasan prajurit, pasukan kostrad, kopassus, mariner, dan brimob harus dirotasi dari satu daerah ke daerah konflik lain. Diduga, kelelahan para prajurit menjadi salah satu pemicu pelanggaran HAM dan konflik antar-kesatuan.
Jadi, sangat jelas, selain menyedot anggaran pertahanan yang tidak sedikit, efektivitas koter bagi pertahanan negara patut dipertanyakan. Keberadaannya pun menimbulkan banyak persoalan.
Oleh karena itu, penolakan korem di Flores perlu dilihat dari sisi ini juga: sisi anggaran dan efektivitasnya. Menolak korem bukan berarti membenci TNI. Di balik penolakan itu ada keinginan agar TNI lebih profesional, modern, dan efektif mengawal keutuhan wilayah RI. Kita berharap TNI, khususnya angkatan darat, terbuka dan mau berubah.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 5 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar