Oleh Frans Anggal
Setelah sempat tidak jelas karena ketiadaan dana, akhirnya pilkada Manggarai Timur dinyatakan jalan terus dan tetap dilaksanakan Oktober 2008. Sikap itu diambil dalam rapat bersama penjabat bupati, DPRD, KPUD, dan tokoh masyarakat.
Untuk memperoleh dana pilkada, rapat merekomendasikan, penjabat bupati dan pimpinan DPRD serta tokoh masyarakat segera menemui gubernur. Kedua, melakukan pendekatan ke bupati kabupaten induk Manggarai. Ketiga, merencanakan pinjaman dari pihak ketiga.
Ini langkah yang bagus. Pemilihan kepala daerah definitif merupakan salah satu tugas polok penjabat bupati. Langkah ini menunjukkan adanya tanggung jawab sungguh-sungguh dari penjabat bupati, setelah mendapat desakan yang kuat dari berbagai pihak.
Tanpa dana, pilkada tidak mungkin berjalan. Itu benar. Tapi, jangan karena tak ada dana, pilkada dibatalkan. Dana tidak boleh dijadikan alasan, apalagi dijadikan dalih. Sebab, agenda pilkada untuk Manggarai Timur merupakan keputusan politik yang semestinya sudah mempertimbangkan semua segi pelaksanaan, termasuk dana dan cara mendapatkannya. UU No 23 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur jelas mengamanatkan, biaya pelaksanaan pilkada dibebankan kepada APBD Kabupaten Manggarai dan APBD Provinsi NTT. Karena itu, langkah mendekati bupati Manggarai dan gubernur sangatlah tepat, meski terbilang terlambat dan kepepet. Justru karena terlambat dan kepepet, rencana pinjaman dari pihak ketiga merupakan alternatif yang tepat pula.
Dari pengalaman Manggarai Timur dan banyak daerah lain di Indonesia, biaya pilkada terbukti sangatlah mahal. Mahal, karena dibuat mahal. Tak ada KPUD yang meminta biaya murah untuk menyelenggarakan semua tahapan pilkada. Selain itu, pilkada dijadikan pesta luar biasa yang membutuhkan persiapan dan biaya khusus. Pilkada pun dijadikan proyek, oleh KPUD, partai politik, aktor politik, kandidat, birokrasi, serta masyarakat pemilih. Pilkada bukan hanya mahal dari sisi biaya penyelenggaraan yang harus ditanggung APBD, tetapi juga dari ongkos yang harus dibayar masyarakat dalam arisan proyek bagi investor politik. Sudah mahal dan boros, hasilnya pun belum optimal.
Kalau mau lebih efisien, semestinya kita belajar dari negara-negara maju. Di sana, pilkada langsung dilakukan oleh Biro Statistik lokal atau Dinas Kependudukan lokal yang memiliki perangkat dan sistem kependudukan memadai. Dengan cara itu, ada dua manfaat efisiensi. Pertama, penyelenggara pemilu tidak dibayar hanya untuk menyelenggarakan pemilu. Kedua, pilkada adalah pesta demokrasi biasa yang menjadi hal biasa pula sehingga tidak dibutuhkan persiapan dan biaya khusus untuk penyelenggaraan.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 13 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar