21 Maret 2009

Mau Bilang Apa

Oleh Frans Anggal

Mendagri Mardiyanto menolak permintaan penjabat bupati untuk maju dalam pilkada. Ia juga menegaskan penjabat bupati tidak boleh mengundurkan diri. Mereka bertugas menyiapkan pilkada hingga terpilihnya kepala daerah definitif. Hal itu ditegaskan Mendagri karena banyak penjabat kepala daerah mundur di tengah jalan untuk maju dalam pilkada.

Di NTT, gejala yang sama muncul pada kabupaten hasil pemekaran, seperti Kabupaten Nagekeo, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya. Penjabat bupati yang ditunjuk melaksanakan berbagai persiapan pilkada justru berkeinginan maju sebagai kandidat. Mereka adalah Elias Djo (Nagekeo), Umbu Saga Anakaka (Sumba Tengah), dan Emanuel Babu Eha (Sumba Barat Daya).

Semula, keinginan mereka untuk maju dalam pilkada ada alasannya. Masa jabatan mereka sudah berakhir. Namun, Mendagri memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan mereka sejak 22 Mei 2008 hingga terpilihnya bupati dan wail bupati definitif.

Dalam konteks pemekaran wilayah, penjabat kepala daerah mengemban tiga tugas utama. Yakni, membentuk DPRD, KPUD di daerah, dan mempersiapkan daerah itu menyelenggarakan pilkada secara langsung hingga terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif. Karena mengemban tugas fasilitasi maka yang bersangkutan dilarang maju dalam pilkada dan dilarang pula mengundurkan diri sebelum pelaksanaan tugasnya tuntas. Larangan maju dalam pilkada tertuang jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 25/2007 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Para penjabat bupati boleh kecewa. Mau bilang apa. Itulah aturannya. Apalagi, sebelum dilantik, para penjabat bupati sudah membuat pernyataan untuk melaksanakan tugas membentuk pemerintahan dan lembaga legislatif serta mempersiapkan pilkada. Mereka dilantik untuk itu, bukan untuk mempersiapkan diri dengan anggaran pemerintah maju sebagai calon bupati.

Apa jadinya kalau penjabat bupati diizinkan maju dalam pilkada? Akan terjadi konlfik kepentingan. Ia akan lebih mempersiapkan dirinya sendiri untuk menang ketimbang memfasilitasi sebuah pilkada berkaulitas. Sebagai incumbent, ia dapat memanfaatkan program dan anggaran pemerintah untuk memperbesar popularitasnya. Ia juga dapat memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya untuk kepentingannya meraih kemenangan.

Pertanyaan kita: jika penjabat kepala daerah dilarang ikut pilkada karena khawatir terjadi konflik kepentingan, mengapa larangan yang sama tidak berlaku untuk kepala daerah yang sedang berkuasa?

"Bentara" FLORES POS, Kamis 17 Juli 2008

Tidak ada komentar: