Oleh Frans Anggal
Di Kecamatan Komodo dan Kecamatan Boleng, Kabupaten Mabar, banyak nelayan beralih profesi menjadi petani rumput laut. Para nelayan sadar, untuk menangkap ikan, mereka harus menguras banyak biaya. BBM kian mahal dan langka. Perawatan perahu motor, alat tangkap, dan upah buruh membutuhkan duit tidak sedikit. Waktu dan tenaga pun terkuras, melaut siang dan malam. Hasilnya juga tidak menentu. Sering pulang membawa kecewa.
Semua itu berbeda jauh dengan apa yang mereka dapatkan dari budi daya rumput laut. Kerjanya tidak terlalu menguras tenaga dan biaya. Paling-paling membeli tali nilon atau rafia tempat bibit diikat untuk kemudian direntang-apungkan bersama botol plasitk air mineral. Selanjutnya tinggal menunggu 45-50 hari, lalu dipanen, dijemur, dan dijual. Harganya pun bagus, kini Rp17.000 per kg kering dari sebelumnya Rp8.000. Lebih pasti, lebih menguntungkan.
Menarik bahwa alih profesi para nelayan Mabar lahir dari kesadaran sendiri. Mereka melakukan semacam “studi banding” keterampilan hidup sebelum memutuskan meninggalkan profesi lama sebagai nelayan dan menggeluti profesi baru sebagai petani rumput laut. Ini tidak mudah. Butuh keberanian untuk “beralih”. Apalagi bila menjadi nelayan sudah merupakan profesi turun-temurun.
Alih profesi seperti ini sudah semestinya ditanggapi dengan baik oleh pemerintah setempat. Pemkab Mabar harus bersyukur, tidak repot-repot seperti yang dilakukan Pemkab Sikka yang sukses mengalihprofesikan nelayan pengguna bahan peledak menjadi petani rumput laut. Di Sikka, sejak 2004, pemerintah menggencarkan program Coral Reef Mapping (Coremap). Melalui program ini, para nelayan secara bertahap meninggalkan kebiasaan mengebom ikan. Mereka lalu beralih profesi menjadi petani rumput laut. Pendapatan mereka pun meningkat, dari rata-rata Rp100 ribu menjadi Rp2,5 hingga Rp3 juta per bulan. Coremap di Sikka membawa hasil ganda: laut selamat, kesejahtaraan masyarakat meningkat.
Pertanyaan kita: apa yang akan dilakukan Pemkab Mabar dengan kenyataan banyaknya nelayan beralih profesi menjadi petani rumput laut? Cuma puja-puji, berdecak kagum, dan berbangga diri karena rakyatnya cerdas?
Pemkab Mabar perlu segera memprogramkan bimbingan dan penyuluhan. Antara lain, pelarangan penggunaan pupuk kimia untuk merangsang pertumbuhan rumput laut. Rumput laut mesti tumbuh alami agar hasilnya bermutu, sehat, tahan lama, dan tidak merusak lingkungan. Belajarlah dari pertanian darat. Pemakaian pupuk kimia dalam jangka panjang membawa dampak buruk bagi lingkungan dan mutu produk. Ingatkan mereka, tren produk agrikultur dan aquakultur telah bergeser. Produk masa depan adalah produk organik.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 5 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar