Oleh Frans Anggal
Tujuh ribu lebih kartu pemilih untuk 13 desa di Kecamatan Buyasuri, Kabupaten Lembata, hilang. Kartu yang diisi dalam kardus ini ditemukan dua hari kemudian di pinggir jalan. Polisi masih menyelidiki apakah ini murni kesalahan manusiawi ataukah permainan politik kotor dalam kaitan dengan pilgub NTT yang segera akan berlangsung.
Apa pun hasil penyelidikan polisi, hilangnya kartu pemilih merupakan gangguan serius bagi terselenggaranya pilkada yang tertib, jujur, demokratis, transparan, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Lagi pula, ini kali pertama NTT menyelanggarakan pilgub langsung. Pada hajatan perdana ini pun tidak semua 20 kabupaten/kota memiliki panwas. Biang keroknya, dari pembentukan panwas pilgub NTT. DPRD NTT menggunakan rujukan hukum yang ambigu. Rekrutmen anggota panwas merujuk UU 32/2004 dan PP 6/2005, sedangkan jumlah anggotanya merujuk UU 22/2007. Karena ambiguitas ini, banyak kabupaten tidak membentuk panwas pilgup.Bagaimana mungkin pilgub berjalan tertib, jujur, demokratis, transparan, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia tanpa panwas yang memadai jumlah dan mutunya? Sebaik apa pun pedoman atau aturan main, pertandingan yang berlangsung serempak di banyak tempat tidak mungkin berjalan bagus tanpa wasit.
Dalam keadaan kekurangan panwas, kasus hilangnya kartu pemilih di Lembata patut dipandang sebagai awal dari begitu banyak kasus yang mungkin akan muncul. Satu di antaranya, “serangan fajar”.
“Serangan fajar” mengingatkan orang pada judul film Arifin C Noer yang mengisahkan serangan 1 Maret 1949 yang dilakukan TNI terhadap pasukan Belanda yang menduduki Yogyakarta. Serangan ini menguntungkan posisi RI saat Dewan Keamanan PBB sedang membicarakan agresi militer Belanda terhadap Indonesia.
Dalam pemilu Orde Baru, ”serangan fajar” dikenal sebagai usaha Golkar pada menit-menit terakhir sebelum pemilih mencoblos di TPS. Dengan menggunakan mesin birokrasi dan ABRI, partai penguasa ini memakai uang untuk membeli suara calon pemilih. “Serangan fajar” ini jelas jauh dari heroisme Serangan 1 Maret 1949. Ini hanya kata lain dari pembusukan demokrasi, pengabaian konstitusi, dan degradasi kemanusiaan.
Pada era Reformasi, “serangan fajar” masih digunakan. Bahkan hingga ke tingkat pilkades. Karena dilakukan secara sangat rahasia dengan pendekatan ‘saling pengertian’ antara pemberi uang dan calon pemilih sesaat sebelum pencoblosan, pelanggaran jenis ini sulit terpantau, apalagi sampai terbuktikan. Semakin sulit tentunya, dan karena itu berpeluang semakin leluasa, dengan kurangnya jumlah panwas seperti pada pilgub NTT kali ini.
Kita berharap, calon pemilih menjadi “panwas” bagi diri sendiri.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 11 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar