23 Maret 2009

Pekerja Anak di Sekolah

Oleh Frans Anggal

Tiga murid SDK Roga di Ende tewas tertimbun pasir. Mereka disuruh gurunya mengambil pasir di seberang jalan untuk membangun WC sekolah. Mereka mengambilnya di ‘gua’ bekas kerukan di seberang jalan, 100 meter dari sekolah. Saat mereka berada di dalam, ‘gua’ itu ambrol. Tiga tewas, empat lainnya luka-luka. Peristiwa terjadi pukul 08.00, pada jam sekolah.

Kejadian serupa pernah menimpa murid SDK Gapong di Manggarai pada November 2007. Empat murid tertimbun tanah saat membersihkan reruntuhan di samping rumah guru. Mereka disuruh oleh istri kepala sekolah seusai jam sekolah. Masih untung, jiwa keempat anak selamat.

Murid mengalami kecelakaan kerja sampai ada yang meninggal gara-gara ulah sekolah. Anak dipekerjakan. Mereka dijadikan pekerja anak di sekolah. Mereka dijadikan budak-budak kecil yang lugu, penurut, dan karena itu mudah diekploitasi.

Kita tidak hendak mengatakan anak tidak boleh kerja di sekolah. Kerja itu penting, perlu, dan berguna sejauh sebagai sarana aktualisasi diri anak. Karena itu, yang mutlak diperhatikan adalah jenis perkerjaannya seperti apa, cara kerjanya bagaimana, kapan, di mana, dan untuk apa. “Opus manuale” atau pekerjaan tangan yang merupakan bagian dari kurikulum sekolah, yang bertujuan meningkatkan keterampilan anak, serta rendah bahkan nihil risiko kecelakaan kerjanya merupakan pilihan terbaik. Itu pun harus tetap dengan pengawasan, penilaian, dan perlindungan ketat dari pihak sekolah atau guru.

Kerja seperti ini kita namakan saja kerja kurikuler. Nah, yang di luar kurikulum itu sudah pasti kerja liar, kerja peras anak, kerja cari untung buat sekolah atau guru. Kerja jenis inilah yang selalu mendatangkan petaka bagi anak. Itulah yang terjadi di SDK Gapong di luar jam sekolah. Itu jugalah yang terjadi di SDK Roga pada jam sekolah. Tiga anak tewas akibat kerja cari untung buat sekolah. Carinya untung, dapatnya buntung.

Kita menengara, masih banyak sekolah di Flores, terutama di pedesaan, yang mempekerjakan anak. Masih banyak sekolah tidak mempertimbangkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Sebaliknya, demi keuntungan ekonomis sekolah atau guru, anak diekploitasi dengan murah bahkan gratis. Budak-budak kecil ini tak kuasa menolak. Mereka takut guru dan akhirnya takluk. Kali lalu dari SDK Gapong. Kali ini dari SDK Roga. Kali depan mungkin dari SDK lain.

Kita juga menengara, masih banyak guru yang belum memahami dan menghargai hak anak. Perlu gerakan yang kuat dan kontinu mencerahkan para guru. Ini tidak mudah tapi harus dilakukan. Hambatan utamanya adalah budaya kita sendiri yang masih meredusir kepentingan anak pada kepentingan orang dewasa.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 15 Agustus 2008

Tidak ada komentar: