21 Maret 2009

Perlu “Quick Count”

Oleh Frans Anggal

Tinggal sehari lagi, rakyat NTT akan berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara. Ini pilgub langsung pertama untuk NTT sejak pemberlakuannya di Indonesia 1 Juni 2005.

Impian kita, yang pertama ini menjadi tonggak sejarah pedoman arah pilgub selanjutnya. Namun kenyataan berbicara lain. Proses pilgub kisruh di tangan elite parpol dan KPUD. Proses hukum sengketa pilkada, demo di KPUD NTT dan kantor pengadilan di Kupang berjalan bersamaan dengan kampanye FREN, GAUL, dan TULUS merebut hati rakyat dari daerah ke daerah.

Hampir semua jenis konflik pilkada sudah ada dalam pilgub NTT. Pertama, konflik administrasi akibat diskriminasi dalam penetapan calon oleh KPUD. Kedua, konflik internal partai akibat calon arus bawah tidak direstui partai pusat. Ketiga, konflik elite politik dengan KPUD akibat keputusan KPUD yang tidak mau menetapkan calon dari partai bermasalah. Keempat, konflik antara massa dan KPUD akibat massa tidak menerima calonnya tidak lulus verifikasi KPUD.

Tinggal satu konflik lagi yang belum mencuat, itu pun mungkin hanya karena belum saatnya saja. Yakni, konflik antar-massa pendukung akibat ketidakmampuan menerima kekalahan. Konflik ini lahir setelah pencoblosan, ketika hasil perolehan suara mulai dihitung, direkapitulasi, hingga penetapkan keputusan pengumumaman hasil oleh KPUD. Rentang waktu yang lama yang dibutuhkan jenjang penghitungan suara membuka peluang konflik.

Umumnya, KPUD membutuhkan waktu 1-2 hari pada setiap jenjang. Mulai dari tempat pemungutan suara 1 hari, kemudian di panitia pemilihan setempat 1-2 hari, selanjutnya di panitia pemilihan kecamatan 1-2 hari, lalu di KPUD kabupaten 1-2 hari, dan akhirnya di KPUD provinsi 1-2 hari. Diperlukan waktu sekitar satu minggu. Banyak hal yang bisa terjadi. Yang lazim adalah manipulasi suara.

Untuk mencegah atau mengurangi kecenderungan manipulasi, harus ada alat dan mekanisme kontrol. Salah satu yang bisa diandalkan adalah ‘penghitungan cepat’ (quick count) oleh lembaga survei terpercaya semisal Lingkaran Survei Indonesia (LSI). LSI telah menunjukkan akurasi surveinya pada pilkada di berbagai tempat, termasuk di Kota Kupang. Untuk kemenangan paket Daniel Adoe-Daniel Hurek, LSI menyebutkan 26,71 persen, sedangkan KPUD 26,58 persen. Terbukti akurat, juga cepat. Akurat, karena metodologinya ilmiah dan hasilnya tidak terpaut jauh dari hasil penghitungan KPUD yang membutukan waktu berhari-hari. Cepat, karena hasilnya sudah bisa diperolah hanya dalam hitungan jam pasca-pencoblosan.

Selain bermanfaat sebagai alat kontrol, quick count juga memenuhi hak dasar masyarakat. Hak untuk tahu. Tahu dengan cepat, tahu dengan tepat. Betapa quick count sangat diperlukan.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 13 Juni 2008

Tidak ada komentar: