Oleh Frans Anggal
Sejak 1 Januari hingga 13 Juni 2008, sebanyak 512.407 balita di NTT menderita kejadian luar biasa (KLB) gizi. Dari jumlah itu, 22 balita meninggal. Rentang waktu hingga 13 Juni itu menarik karena sehari kemudian, 14 Juni, NTT menyelenggarakan pilgub. Faktor waktu yang hanya kebetulan ini menyajikan fakta tentang sesuatu yang mesti menjadi kepedulian nakhoda NTT lima tahun ke depan.
KLB gizi yang selalu berulang di NTT membuktikan negara, dalam hal ini pemerintah, gagal menjamin hak dan kepentingan terbaik anak. Kegagalan ini dikerenakan oleh beberapa faktor.
Pertama, ketidakberpihakan kebijakan makro terhadap kepentingan anak. Ada perspektif yang salah bahwa anak-anak dan hidupnya bergantung pada orang dewasa, keluarga, dan masyarakat. Akibatnya, kepentingan anak diredusir pada kepentingan orang dewasa. Padahal, anak-anak pada tingkat usianya memiliki kebutuhannya sendiri.
Kedua, isu anak, kesehatan, dan pangan dianggap sebagai isu kelas dua di hadapan isu yang membidaninya yakni politik dan kepentingan segelintir orang. Ketika satu per satu anak-anak itu mati oleh keterbatasan pangan dan pelayanan kesehatan, kasusnya dianggap remeh. Saat korbannya sudah banyak dan disoroti, barulah perhatian dicurahkan dan diberi nama KLB. Penanganannya pun momental dan aksidental dengan penyelesaian bersifat kuratif, emergensi, dan jangka pendek. Penanganannya in casu, bukan in radix yang bersifat preventif, strategis, dan jangka panjang. Akibatnya, KLB gizi selalu berulang. Anak selalu jadi korban.
Ketiga, banyak dan berantainya persoalan membuat pemerintah kehilangan konsentrasi sektoral. Sulit menentukan mana ekor dan mana kepala. Satu dipenggal, muncul masalah lain yang membelit. Lingkaran setan ini diperkeruh oleh impitan ekonomi, pola kekuasaan yang berporos pada kepentingan kelompok, degradasi etika dan nilai hidup, dan kerentanan hidup sosial masyarakat. Dalam suasana ini, anak-anak sebagai yang paling lemah dan tidak berdaya selalu menjadi korban. Tak ada tempat yang aman dan ramah bagi mereka.
Sebentar lagi FREN (Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay) akan menakhodai NTT lima tahun ke depan. Sodoran fakta KLB gizi yang terpaut hanya sehari sebelum pilgub kiranya merenggut perhatian dan kepedulian mereka. Dalam Delapan Program yang ditawarkan semasa kampanye, FREN menjadikan kesehatan sebagai salah satu isu utama. Wanita dan anak-anak akan diperhatikan. Kampanye telah berlalu. Masa beretorika menebar pesona telah lewat. Sebentar lagi mereka ditetapkan sebagai gubenur dan wakil gubenur terpilih, dilantik dan diambil sumpah. Pesan kita: bersumpah setialah demi anak-anak. Menjamin hak dan kepentingan terbaik mereka. “FREN, be friendly to child”. FREN, ramahlah pada anak.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 18 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar