09 Februari 2009

Bikin Puni Dihuni

Oleh Frans Anggal

Jantung kota Ruteng adalah pertokoan. Pusat bisnis ini benar-benar menjadi pusat dari serbaneka bisnis. Ada transaksi di dalam toko, di emperan toko, dan tepi jalan.

Sejenak saja di kompleks pertokoan Ruteng, kepala bisa langsung pusing. Baru turun dari angkot, penupang sudah ditawari aneka barang, bahkan sampai daging babi.

Dibandingkan dengan ibu kota kabupaten lain di Flores, Ruteng tergolong paling semrawut pertokoannya. Persoalan bukan pada tata letak pertokoan itu sendiri--yang satu ini malah termasuk yang terbaik di Flores. Apa yang ada dan terjadi di depan toko, itulah permasalahannya.

Di Ruteng, di depan toko ada ‘toko’, dan depan ‘toko’ itu masih ada ‘toko’ lain. ‘Toko depan toko’ alias ‘toko berlapis’ ini bisa ditemukan di sisi utara ruas jalan menuju pasar. Di depan toko, ada stan penjual kain songke, di depannya ada penjual tembakau, di depannya lagi penjual daging babi yang menempati sebagian ruas jalan.

Orang menyebut para pemilik ‘toko’ di depan toko ini dengan nama pedagang kaki lima alias PKL. Para PKL dianggap sebagai biang kerok romolnya pertokoan Ruteng. Tak mengherankan, menjelang HUT kemedekaan RI, mereka menjadi incaran petugas Satpol PP untuk ditertibkan. Mereka diusir, stan mereka dibongkar. Selesai tujuhbelasan, mereka datang lagi, berjualan seperti semula. Para petugas membiarkannya sampai ada instruksi lanjutan, biasanya jelang tujuhbelasan tahun berikut.

Yang menjadi poin di sini adalah bahwa para PKL bisa ditertibkan. Mereka tahu lokasi yang mereka tempati sekarang bukan lokasi yang tepat. Kalau disuruh pindah, mereka pindah. Dan ini sudah terjadi berkali-kali setiap ada penertiban. Saat penertiban mengendur sedikit atau--seperti biasa—mengendur banyak, mereka datang lagi ke tempat itu, memasang stan dan menjual tanpa beban.

Pihak pemerintah selalu melihat PKL sebagai biang kerok. Bandel, suka langgar aturan, rendah kesadaran, tidak tertib, dan lain-lain. Anehnya, muncul pula ‘argumentasi kemanusiaan’. PKL yang dicap bandel itu dibiarkan berjualan di tempat yang salah karena dagangan mereka laris. Demi sesuap nasi, melanggar aturan tak mengapa. Begitu kira-kira.

Yang menjadi pertanyaan kita, apakah benar penertiban tidak dilakukan petugas karena pertimbangan kemanusiaan belaka? Apakah pertimbangan kemanusiaan seperti itu bisa dibenarkan? Sampai kapan pembiaran demi pertimbangan kemanusiaan? Sampai semakin ruwet masalahnya dan semakin sulit diselesaikan?

Kita pantas mempertanyakan hal ini. Sebab, bisa saja terjadi, pertimbangan kemanusiaan dijadikan dalih untuk menutupi ketidakmampuan melakukan penertiban. PKL taat kalau ditertibkan. Ini fakta. Apalagi kalau penertiban dilakukan secara rutin, setiap hari, dari pagi sampai sore. Justru ini yang tidak dilakukan.

Lalu di manakah para PKL harus berjualan? Jelas, di tempat yang telah disiapkan, di Puni. Bahwa di Puni dagangan tidak laku, itulah yang harus dipikirkan pemerintah. Yang menjadi poin di sini adalah mencari kiat agar Puni menjadi salah satu pusat keramaian yang menarik dan gemar didatangi warga. Kalau sudah menjadi pusat keramaian, Puni pasti akan dihuni PKL. Bikin Puni dihuni, itulah tugas pemerintah.

“Tajuk” DIAN, Minggu 3 Desember 2006

Tidak ada komentar: