09 Februari 2009

Waspadai Bahaya 3L

Oleh Frans Anggal

Apa pun yang akan dilakukan seorang bupati pasti mendapat sorotan. Ia telah menjadi figur publik. Sosok yang sebagian privasinya tertarik masuk ruang publik. Kalau dulu makanan kesukaanya masih berada dalam ranah privasi, kini tidak lagi. Publik ingin tahu bupati suka makan apa. Semakin sederhana kesukaannya semakin menarik untuk diperbincangkan. Suka ubi bakar, pasti menarik. Sebab bupati itu berduit, bisa membeli makanan mahal dan bergengsi, tapi kesukaanya tetap saja makanan orang miskin. Itu yang menarik.

Kalau yang remeh temeh dari urusan perut bupati bisa menjadi sorotan, apalagi yang serius menyangkut kebijakan stategis. Sorotan akan semakin tajam apabila kebijakan itu menyangkut nasib pejabat bawahannya. Siapa akan menduduki apa, siapa akan menggantikan siapa, selalu jadi perbincangan. Selalu akan ada pro dan kontra, meskipun masing-masing pihak menggunakan takaran objektif tentang kelayakan dan kepatutan pribadi yang dipromosikan atau dimutasikan. Pro dan kontra semakin sulit terpetakan manakala interese subjektif ikut bermain. Si A didukung karena akan menguntungkan saya. Si B ditolak karena tidak bakal melapangkan petualangan bisnis kotor saya. Atau si A didukung karena ia orangnya partai kami. Si B ditolak karena ia lawan politik kami. Ketika interese seperti ini menjadi dominan, pelayanan publik ditelantarkan. Masyarakat umum yang pemenuhan kebutuhannya merupakan tujuan akhir dari semua jabatan akhirnya terlupakan.

Ketika terbetik kabar Bupati Flores Timur Simon Hayon sedang merencanakan reposisi pejabat, ada pihak yang ketar-ketir takut kehilangan posisi. Ada juga yang berharap-harap cemas akan kebagian kursi. Parpol mulai bertanya-tanya, masihkan orang mereka tetap pada posisi sekarang ataukah akan tergeser atau malah akan tergusur. Para pelaku bisnis mulai hitung-hitung, kalau si A digeser, akankah penggantinya membawa keuntungan bisnis berlipat-lipat. Baik yang merasa terancam maupun yang merasa akan diuntungkan selalu bisa tergoda ikut bermain. Yang punya wewenang bisa memainkan wewenang, melakukan lobi, bila perlu tekanan. Yang punya duit bisa mengipas-ngipas amplop.

Inilah yang sering terjadi di Indonesia. Kabupatan Flores Timur bisa saja bukanlah kekecualian. Namun apa pun permainan itu, semua terpulang pada bupati selaku pemiliki hak prerogatif.

Lobi itu wajar. Akan menjadi kurang ajar kalau hanya karena loba dan demi laba, kepentingan masyarakat dikorbankan. Kita berharap, kalau restrukturisasi pejabat Flores Timur akan dilakukan, 3L benar-benar diwaspadai: lobi, laba, dan loba. The right man on the right place harus tetap menjadi salah satu dasar utama pertimbangan. Orang yang tepat pada posisi yang tepat.

“Tajuk” DIAN, Minggu 19 November 2006

Tidak ada komentar: