09 Februari 2009

Menangkap Ekor Cecak?

Oleh Frans Anggal

Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Jejaring Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Se-Nusa Tenggara (Nusra) telah menandatangani kesepahaman kerja sama mengawasi para hakim di daerah.

Mengapa hakim perlu diawasi? Hakim memiliki kekuasaan. UU Nomor 4 Tahun 2004 menyebutnya dengan nama “kekuasaan kehakiman”. Yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Dalam pratiknya, karena hakim manusia juga, kekuasaan kehakiman tak jarang tergelincir menjadi main kuasanya para hakim dalam menyelenggarakan peradilan. Sasaran untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sering dilupakan atau sengaja diabaikan karena sudah diganti dengan sasaran lain: harta dan takhta. Pelesetan KUHP, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi Kasih Uang Habis Perkara menunjukkan betapa budaya kerja para hakim sudah sedemikian nistanya. Pelesetan merupakan permainan bahasa. Dan bahasa menunjukkan bangsa. Pelesetan menunjukkan sesuatu yang tak becus yang sedang terjadi dan mengecewakan masyarakat.

Sayangnya, masyarakat sering baru kecewa saat tiba di ujung sebuah putusan ketika hakim mengucapkannya dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala hukuman. Terhadapnya, masyarakat bisa melakukan eksaminasi. Yaitu suatu penilaian atau kontrol oleh masyarakat terhadap putusan hukum.

Putusan hukum adalah akhir dari sebuah proses hukum. Bagaimana awal dan tengahnya, ini yang sering luput dari kontrol masyarakat. Kasus Tibo cs merupakan contoh sekaligus pelajaran. Awal dan tengah dari proses hukum tiga terpidana mati kasus Posos ini tidak terkontrol. Saat ketiganya hendak dieksekusi mati barulah reaksi bermuculan. Bagi penguasa, proses hukumnya sudah final, oleh karena itu eksekusi tidak bisa dibatalkan. Penguasa merasa diri sudah benar karena proses hukum Tibo cs mulus. Mereka merasa mulus karena kontrol masyarakat sangat lemah bahkan tidak ada sama sekali. Tibo cs memang telah menjadi korban dari peradilan yang sesat. Tapi jangan lupa, mereka juga korban dari kelalaian masyarakat mengontrol peradilan itu sendiri .

Kesepahaman kerja sama antara Komisi Yudisial Republik Indonesia dan Jejaring Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Se-Nusra mudah-mudahan menjadi awal yang baik. Kita berharap jejaring ini tidak hanya mengontrol putusan hakim. Kontrol harus menyeluruh, mulai dari awal proses hukum hingga akhir berupa putusan yang berkekuatan hukum tetap. Kalau cuma mengontrol putusan hakim, itu sama halnya dengan menangkap ekor cecak. Ekor itu bergerak-gerak di tangan, seakan-akan cecak, ternyata bukan, cuma ekornya, sedangkan cecaknya luput dari tangkapan.

“Tajuk” DIAN, Minggu 10 Desember 2006

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi

hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah

dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha?). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675