09 Februari 2009

Tabib atau Penoreh Luka?

Oleh Frans Anggal

Ketika DPRD Manggarai bersemangat menerapan utuh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37/2006 yang menaikkan tunjangan dan dana operasional mereka tiga kali lipat, reaksi penolakan menyeruak. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St Agustinus Ruteng dalam demo Sabtu 16 Desember 2006 menuntut dewan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan prioritas pembangunan. Jangan menjadikan PP tameng untuk mengeruk uang rakyat.

Keuangan merupakan masalah utama kabupaten mana pun di Nusa Tenggara Timur, tidak terkecuali Manggarai. Ketergantungan fiskal pada pusat sangat tinggi. Dalam keterangan pertanggungjawabannya 16 September 2006, Bupati Christian Rotok mengatakan sekitar 98% anggaran daerahnya berasal dari Jakarta. Hasil usaha otonomi lewat pendaptan asali daerah (PAD) sangat kecil.

Rotok mencatat, PAD Manggarai paling banter Rp15 miliar, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dana alokasi umum (DAU) kucuran pusat Rp394 miliar. Tahun 2005 misalnya, PAD cuma Rp11 miliar lebih, sementara total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Rp267 miliar. Artinya, sumbangan PAD cerminan kemampuan rakyat Manggarai terhadap dana pembangunan daerahnya sendiri hanya 4,23 persen.

Ketika menanggapi seruan PMKRI dalam demo 16 Desember, anggoa DPRD Manggarai Willy Nurdin mengatakan kondisi keuangan daerah memungkinkan bagi kenaikan tunjangan semua anggota dewan. Sebab, keuangan daerah antara lain berasal dari DAU. Daerah diberi kewenangan untuk mengelolanya.

Kemampuan keuangan daerah yang dikatakan Nurdin adalah kemampuan karena didoping pusat. Kemampuan sesungguhnya tercermin pada PAD yang cuma 4,23 persen itu. Semestinya dewan bercermin pada angka tersebut. Itulah gambaran perut rakyat Manggarai. Perut yang kempis.

Wakil rakyat yang benar adalah wakil yang mencerminkan keadaan mereka yang diwakili. Kalau perut rakyat kempis, tak pantas wakilnya gendut sendirian. Ini soal tenggang rasa, soal kepekaan, soal merasa sepenanggungan.

Jika PP 37/2006 diterapkan maka 80-an persen dari PAD Manggarai atau Rp10 miliar lebih dipakai hanya untuk menggaji 40 anggota dewan. Apa yang dikumpukan seluruh rakyat Manggarai untuk daerahnya hampir sama dengan apa yang akan diterima anggota dewan yang hanya 40 orang itu. Ini tidak patut. Rakyat disakiti. Rakyat dikhianati. Manggarai terluka.

Kita berharap DPRD Manggarai menjadi tabib yang menyembuhan, bukan sebaliknya menjadi penoreh luka-luka pembangunan.

“Tajuk” DIAN, Minggu 24 Desember 2006

Tidak ada komentar: