08 Februari 2009

Tibo dkk adalah Ikon

Oleh Frans Anggal

Kematian Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu sudah di ambang pintu. Meski Kejaksaan Tinggi Sulteng selaku pelaksana lapangan tidak menyebutkan hari, tanggal, dan jam, kepastian eksekusi sepertinya tidak mengambang lagi seperti yang terdahulu. Berawal dari penggantian kapolda. Lalu pernyataan yang menyebutkan ekskeusi dilaksanakan sebelum Ramadan. Dan terakhir, yang paling kasat mata, kesiagaan aparat kemanan dalam seragam dan senjata.

Masyarakat pencinta kehidupan kini berada pada titik harus bisa menerima kenyataan betapapun itu menyakitkan. Menerima kenyataan tidak sama dengan menyetujui apa yang terjadi. Kalau Tibo, da Silva, dan Riwu tewas di ujung timah panas aparat negara dalam suatu pembunuhan yang dilegalkan—nama yang lebih tepat untuk eksekusi mati—itu adalah kenyataan. Kenyataan ini harus bisa diterima kalau memang perjuangan kita tidak cuma sampai di sini.

Perbandingan yang pas bisa kita ambil dari dunia medis. Seorang pasien harus bisa menerima kenyataan dirinya sakit bila ingin lekas sembuh. Dengan menerima kenyataan sakit, pasien akan menyadari pentingnya perawatan dan perlunya mengikuti nasihat dokter. Seorang dokter pun demikian, hanya bisa melakukan operasi setelah memastikan penyakit pasien dan menerimanya sebagai kenyataan.

Perjuangan kita menolak hukuman mati masih harus diteruskan sampai hukuman mati tidak lagi tertera dalam kitab perundang-undangan kita. Perjuangan ini tidak lenyap bersamaan dengan hilangnya nyawa tiga perantau Flores itu. Dalam konteks menerima kematian karena kejahatan sistematis negara terhadap rakyatnya sendiri, kasus Tibo dkk merupakan awal sebuah kebangkitan menyemaikan budaya kehidupan di negeri ini. Tibo dkk adalah ikon perjuangan kita.

Tibo dkk adalah juga ikon kejahatan negara terhadap rakyatnya sendiri. Ikon ketertindasan kalangan minoritas di negara yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ikka tapi gagal menghargai keberagaman. Tibo dkk adalah juga ikon tidak diperhitungkannya Indonesia Timur, apalagi Flores, di negeri kepulaun bernama Indonesia. Karena itu pula, Tibo dkk adalah ikon kesewenang-wenangan Jakarta. Aceh dikecewakan Jakarta. Papua disakiti Jakarta. Kini Flores, dan besok entah pulau apa lagi. Jakarta paling ngotot mempertahankan NKRI, tetapi rajin menaburkan bibit separatisme. Jakarta penuh kontras.

Sebagi ikon dari semua itu, Tibo dkk adalah saudara kita. Bukan terutama karena ketiganya Katolik. Bukan terutama karena ketiganya kelahiran Flores. Tapi karena ketiganya adalah manusia seperti kita, yang hidupnya tidak boleh dilenyapkan oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan dengan alasan apa pun. Tibo dkk harus menjadi ikon perjuangan kita menolak hukuman mati di negeri ini. Dan karena itu, perjuangan kita masih panjang, tidak seringkas hidup yang lenyap di ujung timah kesewenang-wenangan negara.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 21 September 2006

Tidak ada komentar: