08 Februari 2009

Umum Untung, Individu Buntung?

Oleh Frans Anggal

Kalau penyair Chairil Anwar masih hidup dan menyaksikan Fokker 28 lepas landas dari Bandara Hasan Aroeboesman Ende, bisa jadi ia terilham menulis puisi di bawah judul “Deru dan Debu”.

Bagi warga yang bermukim di pesisir bandara, deru alias kebisingan bunyi mesin jet sudah terasa lazim. Kebisingan sudah tidak bisa dielakkan. Kalau tak ingin telinga terasa pekak, ada beberapa cara. Pertama, melarang pesawat lepas landas, dan itu pasti tidak dapat dibenarkan karena melanggar aturan dan merugikan banyak orang. Cara kedua, menutup telinga saat pesawat lepas landas, dan ini pasti sangat merepotkan. Cara ketiga, bila tetap bermukim di situ, terimalah kenyataan dan perlahan-lahan akan terjadi penyesuaian diri sehingga kebisingan terasa biasa dan akrab. Cara ketiga, satu-satunya jalan apabila semua cara lain tak mempan, adalah berpindah alamat ke lokasi baru yang jauh dari kebisingan.

Cara ketiga ini ibarat gayung bersambut dengan rencana Pemkab Ende memperluas bandara. Untuk perluasan yang sedang dipersiapkan, pemkab sudah memikirkan ganti rugi bagi 57 pemilik tanah, 145 pemilik bangunan, 98 pemilik tanaman perkebunan, dan 85 pengguna jaringan listrik. Berapa persisnya besar ganti rugi, kini sedang dilakukan pendekatan dengan warga. Tampaknya ganti rugi Rp100 ribu per meter persegi diraskaan kurang cukup oleh warga. Ini kententuan lama yang tidak pas lagi. Warga membandingkannya dengan harga semen saat ini Rp40 ribu per sak dan harga beras satu karung Rp200 ribu. Mereka minta pemerintah tidak pakai harga lama.

Kita mendorong pendekatan pemkab dan dialog yang dikembangkan menghasilkan kesepakatan yang adil. Sepakat sekadar sepakat saja tidak cukup. Kesepakatan itu harus adil. Di sini perlunya pemkab mendengarkan aspirasi warga yang tanahnya akan dibebaskan. Apa yang merka ucapkan perlu dicermati, bahkan apa yang tak mereka ucapkan lantaran keterbatasan mereka, perlu ditangkap secara tepat. Imbauan ini kita arahkan kepada Pemkab Ende selaku pihak yang empunya uang, ‘senjata’, kekuasaan, dan pengaruh. Hubungan antara atasan dan bawahan, antara penguasa dan yang dikuasai, antara pemerintah dan yang diperintah, cenderung menjadi hubungan yang tak imbang, yang berat sebelah, karena yang empunya uang, senjata, kuasa, dan pengaruh cenderung ‘menguasai’ dan ‘menentukan’. Kalau kesepakatan lahir dari model hubungan seperti ini, maka kesepakatan itu cenderung bersifat tak adil. Menguntungkan yang di atas, merugikan yang di bawah.

Lazimnya, penguasa mamakai kata-kata klise ‘demi kepentingan umum, individu harus berkorban’. Apa arti kepentingan umum di sini? Bukankah ‘umum’ itu merupakan kumpulan dari ‘individu’? Dua-duanya sama penting. Yang Kristen mengenal perumpamaan yang diberikan Yesus: gembala yang baik akan meninggalkan 99 ekor dombanya demi mencari seekor yang hilang. Seekor sama pentingnya dengan yang 99 ekor. Umum sama pentingnya dengan individu. Penekanannya bukan pada jumlah, tetapi pada harkat dan martabat manusia itu sendiri.

Kita berharap, dalam pembebasan tanah Bandara Aroeboesman, kesepakatan yang adillah yang dicapai. Sama-sama menguntungkan. Janganlah terjadi, umum untung, individu buntung.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 September 2006

Tidak ada komentar: