08 Februari 2009

Autopsi oleh Polisi, Mengapa Tidak?

Oleh Frans Anggal

Kapan makam Dominggus da Silva digali dan jenazahnya diautopsi masih belum jelas. Bahkan jadi-tidaknya langkah itu belum pasti juga. Keluarga berduka sedang dalam perkabungan. Kalau masa 40 hari itu lewat, autopsi mungkin saja dilakukan. Tapi, siapa yang harus melakukannya?

Kalau demi hukum (pro iustitia), yang berkewajiban melakukannya adalah negara, dalam hal ini kepolisian. Autopsi bisa dilakukan atas permintaan keluarga, bisa juga atas inisiatif polisi sendiri kalau ditemukan adanya indikasi tindak pidana.

Mengharapkan inisiatifi polisi dalam autopsi jenazah Dominggus boleh dibilang sulit. Sebab, sejak awal setelah eksekusi, negara telah melakukan kesalahan yang bahkan patut dianggap sebagai kejanggalan. Justru karena kejanggalan itulah, muncul dugaan kuat telah terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan eksekusi. Dasar inilah yang mendorong pengacara keluarga Dominggus mendesak aparat negara menggali kembali kubur dan melakukan autopsi.

Kita maklumi dasar dari tuntutan ini. Sayangnya desakan tidak disampaikan di tempat kejadian pekara (TKP) di Palu sesaat setelah jenazah Dominggus dikuburkan tergesa-gesa oleh eksekutor. Kalau tuntutan disampaikan di situ dan saat itu maka polisi tidak bisa tidak harus memenuhinya. Alasannya sederhana, karena aparat negara yang menguburkannya maka aparat negara pula yang harus menggalinya. Dan, karena penguburan oleh aparat negara tergesa-gesa tanpa memenuhi permintaan terpidana mati dan keluarga maka visum harus dilakukan atas dasar adanya kejanggalan tindakan negara yang patut diduga sebagai cara menyembunyikan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan eksekusi.

Sekarang, apakah polisi mau memenuhi permintaan pengacara menggali kembali kubur Dominggus di kampung halamannya, jadi bukan lagi di TKP, dan melakukan autopsi atas jenazahnya yang notebene sudah berubah akibat perlakukan sejak penggalian di Palu hingga pemakaman kembali di Sikka yang semuanya dilakukan oleh keluarga dan bukan oleh polisi? Polisi bisa saja menolak karena TKP sudah berubah. Dokter pun bisa menolak memberikan visum karena kondisi jenazah juga sudah berubah.

Meski demikian, kita berharap polisi dan dokter tidak menjadikan hal tersebut sebagai dalih. Sebab, ini adalah pencarian kebenaran. Kalau autopsi merupakan satu-satunya cara untuk kondisi saat ini, mengapa tidak dilaksanakan? Kalau autopsi memungkinkan penemuan kebenaran meski TKP dan kondisi jenazah sudah berubah, mengapa tidak dilakukan?

“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 Oktober 2006

Tidak ada komentar: