08 Februari 2009

Dari Putak ke Magar

Oleh Frans Anggal

Karena kehabisan stok makanan, sepuluh kepala keluarga di Desa Ilin Medo, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, memakan ubi hutan atau magar dalam bahasa setempat. Ketergantungan ekonomi keluarga yang kelewat tinggi pada tanaman kakao memurukkan kehidupan masyarakat setempat saat hama menyerang komoditas primadona puluhan tahun itu.

Kisah magar di Ilin Medo sebenarnya pengulang kisah-kisah sebelumnya di Kabupaten Sikka, juga dengan narasi yang sama: karena kakao tak berikan hasil maka duit tidak ada, makanan tidak bisa dibeli, dan akhirnya terpaksa makan putak (isi batang enau) dan sekarang magar. Kisah pangan mereka adalah kisah dari putak ke magar. Mata rantai kelaparan seakan tak pernah putus-putus.

Beras bantuan pasti akan turun. Namun penanggulangan seperti ini bersifat darurat dan sesaat. Tidak mungkin masyarakat disuapi terus-menerus. Selain terbatasnya anggaran, cara seperti ini tidak membawa perubahan. Kelamaan membantu malah menciptakan ketergantungan baru.

Masyarakat Ilin Medo kelaparan justru karena ketergantungan ekonomi yang kelewat tinggi dan satu-satunya pada kakao. Ketika primadona ini tidak lagi memberikan hasil karena terlalu tua, diserang hama, dan dilanda kemarau, masyarakat jadi panik. Puluhan tahun mereka ditopang kakao, untuk beli makan minum, biaya sekolah, urusan adat, dan lain-lain. Ketika penyangga itu keropos, ekonomi keluarga langsung ambruk. Dalam kepanikan, masyarakat hanya berprinsip ‘tak ada rotan, akar pun jadi’, ‘tak ada beras, putak pun dimakan’, ‘tak ada jagung, magar pun disikat’. Prinsip subsisten, prinsip sambung nyawa, prinsip asal hidup.

Kepanikan seperti ini tidak perlu terjadi kalau dari dulu masyarakat disiapkan secara benar. Menanam kakao itu bagus karena nilai ekonominya tinggi. Namun sampai sebagian besar bahkan seluruh lahan ditanami kakao saja, itu yang keliru. Tanaman monokultur atau tanaman sejenis pada areal luas sangat rentan terhadap penyakit. Idealnya multikultur, satu jenis diselingi jenis lain. Kebun kakao didiversifikasi dengan jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayur-sayuran, dan lain-lain tanaman pangan. Dengan demikian, kalau kakao tak memberikan hasil, cadangan pangan masih tersedia, tak perlu lari ke putak dan magar.

Pemerintah, Gereja, dan LSM perlu memikirkan persoalan ini secara lebih serius dan kreatif. Perbuatan sinterklas menyumbangkan bahan makanan tetap berguna sebagai langkah darurat. Namun itu saja tidak cukup. Tindakan karitatif perlu disertai langkah kreatif mengubah pola bertani dan pola konsumsi masyarakat agar tidak bergantung hanya pada satu komoditas dan satu jenis pangan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 7 November 2006

Tidak ada komentar: