08 Februari 2009

Sikap Kontra-Konstitusi

Oleh Frans Anggal

Kolam terapi bagi para cacat di Binongko, Labuan Bajo, telah diresmikan penggunaannya. Mengapa harus dibuat kolam renang, padahal tempat rehebilitasi itu terletak di bibir pantai, ceritanya panjang.

Awalnya, ketika Manggarai Barat masih menjadi bagian dari Kabupaten Manggarai, tarekat SSpS memilih pinggir pantai Binongko sebagai tempat terapi air laut (hidroterapi) bagi para cacat. Kala itu airnya bersih. Ini didukung oleh kebijakan Pemkab Manggarai yang menetapkan garis pantai Binongko sebagai bagian dari jalur hijau. Kebijakan ini erat kaitannya dengan pengembangan pariwisata yang memperhitungkan ekologi sebagai salah satu kekuatan. Justru karena berada dalam jalur hijau inilah maka Binongko dipilih oleh SSpS sebagai tempat hidroterapi. Langkah ini didukung oleh Pemkab Manggarai. Boleh dibilang Pemkab Manggarai memiliki kepedulian terhadap para cacat dan sangat menghargai karya kemanusiaan para suster SSpS yang jauh sebelumnya telah sangat berjasa dalam memajukan dunia pendidikan dan kesahatan di Manggarai.

Nasib Binongko berubah ketika Mabar berdiri otonom sebagai kabupaten, lepas dari kabupaten induk Manggarai. Tempat hidroterapi ini menjadi korban derap pembangunan. Kebijakan menjadikan Binongko bagian dari jalur hijau tidak diteruskan. Di sebelah panti itu pemkab mengizinkan pendirian sebuah pabrik pembekuan ikan (cold storage). Kebisingan dan
pengotoran air laut sulit terhindakan. Tidak saja oleh limbah pabrik, tapi juga oleh kebocoran solar perahu motor nelayan yang datang dan pergi. Upaya pengelola panti agar pabrik ditutup demi keamanan dan kenyamanan hidroterapi selalu terbentur dinding birokrasi yang terkesan kurang berwawasan ekologis. Waktu terus berjalan, derita para cacat kian panjang. Akhirnya ada yang datang mengulurkan tangan, membangun kolam, sehingga para cacat tak perlu lagi mandi langsung di laut.

Banyak yang hadir saat kolam renang ini diresmikan, kecuali unsur Pemkab Mabar. Bupati, wakil bupati, asisten setda, atau sekurang-kurangnya kadis kesehatan, juga tidak hadir. Ini perilaku sangat tidat terpuji dari organ-organ negara. Sikap yang gagal memancarkan spirit konstitusi. Para cacat dan anak-anak terlantar merupakan tanggung jawab negara, begitu yang diatur dalam UUD. Yang terjadi di Manggarai Barat justru sebaliknya. Sudah tidak mengurus anak-anak cacat, mendukung pihak swasta yang peduli juga tidak.

Kita harus mengatakan, sikap dan perilaku seperti ini patut disesalkan dan sangat tidak pantas bagi siapa pun yang memegang jabatan pemerintahan. Ini sikap kontra-konstitusi. Apalagi bila mereka itu orang-orang kristiani. Yesus mengatakan, barang siapa memperhatikan orang yang paling kecil, dia memperhatikan ‘Aku’.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 31 Oktober 2006

Tidak ada komentar: