08 Februari 2009

Percaya pada Rayat

Oleh Frans Anggal

Bupati Sikka Alexander Longinus mengatakan, mengonsumsi ubi hutan belum tentu karena lapar. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi berita media tentang 50 warga Desa Ilin Medo Kecamatan Talibura yang kelaparan dan terpaksa makan ubi hutan atau magar.

Saat mengunjungi warga Ilin Medo, Bupati Longginus menikmati ubi hutan itu. Katanya, enak. Lagi-lagi ia mengatakan, kalau masyarakat mengonsumsi ubi hutan, itu bukan pertanda masyarakat kehabisan stok makanan. Ubi hutan telah dijadikan salah satu makanan alternatif.

Saat Wabup Yoseph Ansar Rera meninjau stok pangan di lumbung-lubung masyarakat pada sejumlah desa di Kecamatan Ilin Medo, ditemukan stok padi dan jagung menipis. Pada beberapa lumbung, stok hanya cukup untuk bibit satu musim tanam. Karena itulah masyarakat mengonsumsi ubi hutan, sebagai makanan alternatif.

Pertanyaan kita, benarkan ubi hutan menjadi makanan alternatif warga Sikka? Kalau benar demikian, mengapa tetap saja terjadi kasus keracunan ubi hutan? Terakhir, menimpa 22 dari warga empat desa. Mereka keracunan karena tidak tahu mengolah ubi beracun itu. Tidak tahu karena tidak biasa. Tidak biasa karena ubi hutan bukan makanan alternatif, yang tingkatnya setara dengan singkong dan ubi tatas.

Dengan ini kita hendak mengkritisi pernyataan Bupati Longginus. Yang menjadi poin kita adalah bahwa realitas kelaparan hendaknya tidak dinafikan. Masyarakat sendiri yang menyatakan mereka lapar dan karena itu terpaksa memakan ubi hutan. Pernyataan ini semestinya sangat bisa dipercaya karena dikatakan oleh narasumber primer, orang yang mengalami sendiri kelaparan itu. Siapa yang harus kita percaya perihal derita kelaparan, apakah orang yang mengalami kelaparan ataukah orang kenyang yang pintar berteori dan membuat laporan tentang kelaparan?

Kunci dari segala upaya menyejahterakan kehidupan masyarakat adalah percaya pada rakyat (believe in people). Hanya atas dasar kepercayaan itulah, aparatur negara bisa mengambil langkah yang tepat membantu rakyat. Kalau seorang dokter tidak mempercayai keluhan pasien tentang sakitnya, bagaimana ia bisa melakukan diagnosis yang tepat untuk menemukan terapi yang cocok?

Mempercayai rakyat juga terkait dengan moralitas kekuasaan. Orang yang tidak mempercayai rakyat akan selalu berbohong bila berbicara tentang masalah rakyat. Dan kalau sudah mulai berbohong, selalu ada kemungkinan untuk tetap berbohong. Sebab, untuk menutupi kebohongan pertama, seseorang harus melakukan kebohongan kedua, dan begitu seterusnya.

Kita berharap kasus kelaparan di Sikka tidak berperangkap dalam keprihatinan seperti ini.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 11 November 2006

Tidak ada komentar: