08 Februari 2009

Dengarkan Warga

Oleh Frans Anggal

Menyoal korem, menyoal luka lamanya orang Flores. Pada 1999 silam, ketika Timtim lepas dari NKRI, Korem di Dili hendak dipindahkan ke Flores, lokasinya di Ende. Kalau rencana itu terlaksana, maka ini merupakan ketaklaziman di Tanah Air: two in one, dua korem dalam satu provinsi. Korem di Kupang, korem di Flores. Kalau di Kupang ya lazimlah, ibu kota provinsi, sandingan danrem adalah gubernur. Tapi di Ende? Apakah pas danrem disandingkan dengan bupati? Aneh.

Tapi kata orang, sesuatu itu aneh karena tidak lazim. Agar tidak aneh, dilazimkan saja. Mulainya dari Flores. Tetapi mengapa harus Flores? Argumentasi klise militeristis pun dilontarkan. Demi menjaga keutuhan NKRI. Yang menjadi pertanyaan, apakah Flores akan segera menggelorakan gerakan separatisme? Apakah di Flores akan lahir organisasi anti-NKRI seperti Republik Maluku Selatan (RMS) atau Organisasi Papua Mardeka (OPM)? Sampai detik ini, jangankan gerakan separatisme, bibitnya saja tidak ada. Flores bukanlah persemaian yang cocok. Karena itu, menyangsikan kesetiaan Flores pada NKRI sungguh merupakan suatu kesalahan besar. Kalau begitu, untuk apa korem di Flores?

Argumentasi klise lainnya disodorkan, demi menjaga NKRI dari serangan luar. Luar yang mana? Australia? Bukankah Kupang lebih dekat dengan Australia? Mengapa tidak memperkuat korem di Kupang saja? Untuk apa dan ada apa harus Flores?

Semua argumentasi pro-korem harus diuji. Tak boleh ada yang ditelan begitu saja, atas nama negara sekalipun. Negara (state) tidak boleh menjajah atau membudaki warga. Inilah salah satu dasar dari kebangkitan ‘masyarakat warga’ (civil society).

Atas dasar ini pula, pernyataan Ketua DPRD Ende Titus Tibo pantas digugat. Tibo mengatakan, kehadiran sebuah institusi resmi di setiap daerah mana pun harus diterima. Korem adalah institusi resmi. Selain itu, bicara soal korem bicara soal pertahanan dan untuk itu tidak ada kompromi dengan masyarakat.

Kehadiran institusi resmi harus diterima? Tidak ada kompromi dengan masyarakat?

Kita perlu pertanyakan, apakah yang resmi itu selalu identik dengan kebenaran dan kebaikan? Bukankah banyak kesalahan bahkan kejahatan dan lebih daripada itu kejahatan sistemik justru dilakukan secara resmi? Terlalu banyak apa yang disebut dengan kejahatan negara terhadap warga. Karena itu, memutlakkan semua yang atas nama negara merupakan pengkhinatan terhadap reformasi yang salah satu spiritnya adalah memberdayakan ‘masyarakat warga’ di hadapan kecongkakan ‘negara’.

Kita berpendapat, soal korem di Flores, janganlah main mutlak-mutlakan. Dengarkan warga.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Desember 2006

Tidak ada komentar: