08 Februari 2009

Kuru dan Lamadale

Oleh Frans Anggal

Belum selesai dengan petani Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, yang menolak pembangunan markas korem atau batalyon atau apa pun namanya di atas lahan garapan mereka, nurani kita tesentuh lagi dengan perjuangan warga Desa Lamadale, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, yang menolak penambangan emas PT Merukh Enterprise. Warga Lamadale khawatir lingkungan rusak dan lahan garapan mereka menyempit.

Berbeda dengan petani Kuru yang dipertentangkan dengan kepentingan institusi resmi negara, warga Lamadale berhadapan dengan lembaga swasta milik sesama warga negara yang mempunyai modal, keterampilan, dan tentu saja lobi dan pengaruh.

Yang sama dari keduanya adalah, baik Kuru maupun Lamadale berada pada posisi hendak dikorbankan. Kuru harus dikuruskan demi mengemukkan institusi tentara. Lamadale harus dipinggirkan demi memperbanyak jemari gurita pengusaha. Di atas tanah Kuru hendak dibangun piramida TNI. Di atas tanah Lamadale hendak ditegakkan piramida Merukh Enterprise. Kalau jadi dibangun, kedua piramida ini menjadi piramida korban manusia, piramida tengkorak, tulang-belulang, darah, dan airmata warga yang ditaklukkan.

Kita menolak tegas model pembangunan seperti ini. Tak ada yang lebih tinggi daripada nilai kehidupan, harkat dan martabat manusia. Sebodoh dan semiskin apa pun manusia itu, ia haruslah tetap dihargai sebagai manusia.

Suatu hari seorang penceramah terkenal membuka seminarnya dengan cara unik. Sambil memegang selembar Rp100 ribu, ia bertanya kepada hadirin, "Siapa yang mau uang ini?" Banyak tangan diacungkan. Pertanda banyak minat."Saya akan berikan ini kepada salah satu dari Anda sekalian, tapi sebelumnya perkenankanlah saya melakukan ini." Ia meremas-remas uang itu sampai berkerut-kerut. "Siapa yang masih mau uang ini?" Jumlah tangan yang teracung tak berkurang."Baiklah. Apa jadinya bila saya melakukan ini?" Ia menjatuhkan uang itu ke lantai dan menginjak-injaknya dengan sepatunya. Meski masih utuh, uang itu jadi amat kotor. "Nah, apakah sekarang masih ada yang berminat?" Tangan yang mengacung masih tetap banyak."Hadirin sekalian,” katanya meyakinkan, “Anda baru saja menghadapi sebuah pelajaran penting. Apa pun yang terjadi dengan uang ini, Anda masih berminat karena apa yang saya lakukan tidak akan mengurangi nilainya. Biarpun lecek dan kotor, uang ini tetap bernilai Rp100 ribu.”
Meski miskin dan rendah pendidikan, para petani Kuru dan warga Lamadale tetap bernilai sebagai manusia. Kehidupan mereka tidak boleh dikorbankan hanya demi menjulang tingginya piramida kekuasaan dan modal.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Desember 2006

Tidak ada komentar: