09 Februari 2009

Ende, Apanya yang “Sare”?

Oleh Frans Anggal

Menemukan sampah di kota Ende tidaklah sulit. Bacalah “Panorama” DIAN, Minggu 7 Januari 2007, halaman 6. Pergilah ke dua pasar. Pasar Mbongawani dan Pasar Wolowona. Mungkin kebetulan atau disengaja, entahlah, kedua pasar ini terletak di tepi perairan. Pasar Mbongawani persis di bibir Pantai Ende. Sedangkan Pasar Wolowona tepat di tepi kali Wolowona. Sudah jadi kelaziman, sampah Pasar Mbongawani dibuang ke laut. Sampah Pasar Wolowona dilepas ke kali. Kali ini bermuara ke Pantai Ipi. Maka, tempat pembuangan akhir sampah kota Ende sebetulnya laut, bukan Rate di Arubara yang terletak nun jauh di dekat kaki Gunung Ia.

Ke laut juga semua drainase kota Ende berujung. Saat musim hujan, got-got kota penuh dengan sampah, yang saking banyaknya sering menyumbat saluran sehingga air tumpah ruah ke jalan bersama sampah-sampah itu. Semua sampah terhanyut ke laut juga. Laut sungguh-sungguh menjadi tempat pembungan akhir. Rate sekadar nama.

Mari tengok sejenak tepi ruas jalan arah barat Terminal Ndao. Tepian dekat bibir pantai itu pun penuh tumpukan sampah. Saat hujan atau pasang naik, semuanya akan terbawa arus ke dasar laut. Laut di Ende menjadi tempat sampah raksasa. Teluk Ende dan Ipi cuma permai dipandang mata. Kenyataan menjadi lain kalau dasar lautnya disusuri.

Bukan tidak ada dinas yang menangani kebersihan kota. Di Ende diurus oleh Dispenda. Bukan tidak ada petugas yang dikenal dengan sebutan pasukan kuning. Secara berkala mereka mendatangi bak-bak sampah. Memasukkan sampah ke dalam truk, lalu mengantarnya ke Rate, tempat pembuangan akhir yang resmi. Namun sampah yang terangkut ke Rate cuma sekian dari tak terhitung sampah kota yang masuk laut tiap hari.

Sampah sangat terkait dengan budaya hidup bersih. Masyarakat yang belum menghargai kebersihan pasti akan membuang sampah ke sembarang tempat. Hal ini tercermin juga dari semua parilaku ‘pembuangan’. Buang hajat di sembarang tempat. Tidak ada kakus.

Di kota Ende, pantai menjadi kakus umum. Urusan ‘bagian belakang’ ini berbeda dengan urusan ‘bagian depan’ atau penampilan. Bagian depan rumah sering elok, tapi bagian belakangnya kumuh. Ruang tamu gagah, tapi dapur jorok. Televisi ada, tapi kakus tak jelas.

Kebersihan belum menjadi perilaku hidup. Mengubah perilaku tidaklah mudah. Butuh waktu dan proses. Pendidikan tentu merupakan cara terbaik. Namun pendidikan saja tidaklah cukup. Perlu ada aturan yang tegas. Perlu dinas khusus yang menangani sampah. Perlu aparat yang melakukan pengawasan secara ketat. Tampaknya segi-segi ini belum mendapat perhatian utama Pemerintah Kabupaten Ende.

Kata ‘Ende’ selalu diserangkaikan dengan ‘sare’ yang berarti indah-elok-permai. Pertanyaan kita, apanya yang sare kalau wajah kota dekil menebarkan bau tak sedap?

“Tajuk” DIAN, Minggu 7 Januari 2007

Tidak ada komentar: