09 Februari 2009

Mulai dari Pendidikan

Oleh Frans Anggal

Perempuan di Ngada masih menjadi makhluk kelas dua. Jumlah mereka jauh di atas laki-laki. Namun pada semua sektor publik, jumlah yang banyak ini tidak menjadi penentu kebijakan. Mereka belum memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh akses di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Di bidang pendidikan misalnya, dalam perbandingannya dengan jumlah laki-laki, jumlah perempuan buta huruf lebih tinggi. Makin tinggi jenjang pendidikan, makin sedikit jumlah mereka. Dalam bidang kesehatan, jumlah perempuan yang berstatus gizi rendah juga lebih banyak. Sebaliknya di bidang politik dan pemerintahan. Jumlah mereka lebih banyak dalam pemilu (53,32 persen pada Pemilu 2004), namun jauh lebih sedikit dalam menduduki kursi legislatif. Dari 30 anggota DPRD Ngada saat ini, hanya 3 orang perempuan. Setali tiga wang di jajaran eksekutif. Pejabat eselon IV hanya 24,56 persen, pejabat eselon III cuma 3,26 persen, sedangkan pejabat eselon II/b nol persen.

Banyak diagnosis menyebutkan, akar dari semuanya itu adalah budaya. Budaya patriarki. Budaya ini menempatkan perempuan pada posisi penurut, bukan penentu. Budaya ini memilah dunia laki-laki dan perempuan secara tegas. Laki-laki bergerak di ranah publik, perempuan di ranah domestik. Semua urusan di luar rumah itu bagiannya laki-laki, sedangkan yang dalam rumah bagian perempuan. Itu pun masih dengan pembatasan juga. Dalam rumah sekalipun yang merupakan ranah perempuan, tetap laki-lakilah kepala. Perempuan cuma pelayan, di dapur, dan di bilik tidur untuk suami.

Mengikis budaya seperti ini sungguh pekerjaan tidak mudah. Tantangan tidak hanya datang dari laki-laki yang diuntungkan dan cenderung mengekalkannya, tetapi juga dari perempuan sendiri yang merasakan budaya ini sebagai sesuatu yang wajar karena dari dulu memang sudah begitu. Malah tidak sedikit dari antara mereka yang merasa aman dan nyaman dalam budaya ini. Mereka terhanyut dalam masokisme kultural yang sebenarnya menindas.

Untuk mengikis dan menghilangkan budaya patriarki, jalan paling efektif meski paling panjang hanya satu, yaitu pendidikan. Cakupannya luas, meliputi pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (pelatihan, kursus), dan pendidikan non-formal (keluarga dan masyarakat).

Di sisi lain, berbicara tentang pendidikan adalah berbicara tentang polisi anggaran juga. Pertanyaan kita untuk Pemkab dan DPRD Ngada: sudah proporsionalkan anggaran bagi sektor pendidikan? Sudah diterapkankah Wajib Belajar 9 Tahun? Yang berarti gratis di SD dan SLTP di Ngada? Kalau yang ini belum terlaksana, mau apa dengan program pemberdayaan perempuan?

“Tajuk” DIAN, Minggu 12 November 2006

Tidak ada komentar: