Oleh Frans Anggal
Kepastian pemerintah pusat mengeluarkan pedoman pelaksanaan PP 37 Tahun 2006 cukup melegakan. Pedoman tersebut mengelompokkan kemampuan keuangan daerah terhadap besaran tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD. Kemampuan keuangan daerah yang dimaksudkan adalah pendapatan umum daerah setelah dikurangi belanja untuk gaji pegawai negeri.
Keputusan ini merupakan sikap tanggap pemerintah pusat untuk merevisi kembali PP 37/2006 yang sangat krusial. Isi krusial PP 37 adalah penetapan kenaikan gaji ketua dan anggota DPRD sebesar 300 persen dan tunjangan komunikasi intensif 600 persen. Dengan kenaikan itu maka gaji ketua DPRD Rp22 juta/bulan, sementara anggota Rp15-18 juta. Jumlah fantastis bagi NTT yang miskin.
Dengan adanya pedoman pelaksanaan PP 37 /2006 maka pemda tidak dapat semena-mena menaikkan secara fantastis tunjangan DPRD. Namun, di NTT ada daerah yang sudah menetapkan perdanya meski ditolak masyarakat. Kabupaten Manggarai misalnya.
Penolakan masyarakat didasarkan pada tiga hal. Pertama, kondisi keuangan daerah. Pasal 14A PP 37/2006 menyebutkan kenaikan gaji maksimal 300 persen. Pesan di balik itu adalah tidak semua daerah mengambil posisi maksimal. Daerah kaya seperti Aceh, Papua, Riau, tentu mudah dipahami jika mengambil posisi maksimal karena PAD mereka tinggi. Sementara bagi NTT, PAD-nya rendah. Hingga kini PAD Manggarai baru mencapai Rp13 miliar dari Rp15 miliar yang ditargetkan. Subsidi pusat mencapai 95 persen, yakni Rp390 miliar setiap tahun.
Kedua, kebutuhan riil anggota dewan. Jika gaji mereka sangat besar, ini melukai rasa keadilan. Apalagi mereka belum melakukan public hearing sebagaimana amanat UU 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Karena itu, sikap DPRD dan pemda memaksakan kehendak menetapkan kenaikan gaji dewan tidak dapat dibenarkan karena melanggar UU 10 Tahun 2004.
Ketiga, perimbangan keuangan untuk kepentingan publik dan belanja aparat. NTT membutuhkan dana bagi pendidikan dan kesehatan. Hingga kini mayoritas warga berpendidikan rendah. NTT baru mampu mengirimkan putra-putrinya ke pendidikan tinggi sebesar 2,77 persen. Begitu pula angka kematian ibu merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Seharusnya hal-hal ini yang diprioritaskan.
Ironisnya, reaksi penolakan masyarakat justru ditanggap positif oleh pemerintah pusat, tidak oleh DPRD dan pemda. Pusat ternyata lebih peka, meski jauh dari akar rumput. Sementara DPRD dan pemda semakin tuli dan buta meski berada di tengah rakyat. Pusat lebih peka terhadap kepantasan dan kemampuan keuangan daerah, sementara daerah semakin pekak.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar