Oleh Frans Anggal
Anggota DPRD Lembata Akhmad Bumi mengatakan tunjangan pimpinan dan anggota dewan yang diamanatkan PP 37/2006 merupakan simbol kedaulatan rakyat. Maksud Bumi, DPRD dan bupati itu sederajat, maka pendapatannya juga harus sederajat. PP 37/2006 justru membuat kesederajatan itu. Ini disebutnya sebagai simbol kedaulatan rakyat.
PP 37/2006 menetapan kenaikan gaji ketua dan anggota DPRD sebesar 300 persen dan tunjangan komunikasi intensif 600 persen. Dengan kenaikan itu maka gaji ketua DPRD Rp22 juta per bulan, sedangkan anggota Rp15-18 juta.
Yang menarik—untuk tidak mengatakannya lucu—argumentasi ‘kedaulatan rakyat’ ala Akhmad Bumi justru dikemukakan ketika rakyat Lembata datang berdemo menolak penerapan maksimum PP 37/2006. Demo itu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Rakyat mendesak para wakilnya tidak telan bulat-bulat PP itu. Mereka mengetuk nurani dewan agar bertenggang rasa dengan kondisi masyarakat dan daerah Lembata yang masih miskin. Kalau desakan ini diterima maka dewan menghargai kedaulatan rakyat, dan itu berarti pula rakyat benar-benar berdaulat. Jadi, letak kedaulatan itu justru pada diterima atau tidaknya keinginan rakyat. Kedaulatan rakyat benar-benar menjelma ketika suara rakyat menjadi hukum tertinggi, vox pupuli suprema lex.
Dengan demikian, apa yang dikemukakan Akhmad Bumi bukanlah ‘kedaulatan rakyat’. Istilah itu ia gunakan hanya untuk membenarkan sikap dewan yang justru tidak sedang menghargai kedaulatan rakyat. Argumentasi ‘kedaulatan rakyat’ ala Akhmad Bumi sesungguhnya hanyalah argumentasi ‘kesewenang-wenangan dewan’. Sebab, kalau dewan menghargai kedaulatan rakyat semestinya mereka melakukan dengar pendapat dengan masyarakat (public hearing). Ini tidak mereka lakukan, padahal diharuskan oleh UU 10/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan. Mereka mau diam-diam terapkan bulat-bulat PP 37 dalam perda. Rakyat yang merasa berdaulat datang memprotes, tapi tidak dipedulikan. Dalam hal tunjangan dewan, jelas sekali rakyat justru dibikin tidak berdaulat. Lantas sekarang enak saja bilang tunjangan dewan simbol kedaulatan rakyat.
Argumentasi ala Achmad Bumi hanyalah salah satu dari banyak argumentasi ‘kesewenang-wenangan dewan’. Yang paling umum dikemukakan, ‘ini petunjuk pusat’, ‘gubernur telah setuju’ dll. DPRD kita cenderung berpikir masinal (seperti mesin) yang hanya bertumpu pada keputusan prosedural. Mereka lupa atau sengaja menafikan satu hal bahwa logika peraturan seharusnya juga menyertakan logika kepatutan sosial, yang dalam kasus ini bercermin pada realitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 16 Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar