08 Februari 2009

Titip Tanya untuk Pranda-Dula

Oleh Frans Anggal

Seorang staf Dinas Pekerjaan Umum Mabar ditarik-tarik dan dicerca oleh sejumlah penduduk Kampung Ujung Kelurahan Labuan Bajo karena dinilai tidak mengikuti kesepakatan dalam melakukan penggusuran dan pelebaran jalan di kota itu. Kesepakatan lebar penggusaran 8 meter, namun yang digusur ternyata 10 meter lebih sampai menggaruk pekarangan bahkan tiang dan dinding rumah warga. Lurah Labuan Bajo Idrus Ahmad kecewa karena lain kesepakatan, lain pelaksanaan. Camat Komodo Aloysius Nala minta maaf kepada warga atas penggusuran yang keluar dari kesepakatan.

Kasus protes pelebaran dan penggusuran jalan di Labuan Bajo baru pertama kali terjadi sejak Mabar menjadi kabupaten otonom. Sebelumnya, hanya decak kagum kabupaten lain yang terdengar. Bahwa di Labuan Bajo, masyarakatnya sangat memahami pentingnya ruas jalan lebar. Mereka merelakan sebagian pekarangannya digusur. Alhasil, tidak ada ruas jalan di Flores-Lembata yang selebar jalan di Labuan Bajo. Masyarakat kota ini benar-benar dibuka wawasannya tentang fungsi dan peran Labuan Bajo ke depan sebagai ibu kota kabupaten, kota pariwisata, kota pelajar, dan pusat bisnis. Pemahaman mereka tak sebatas sebagai sesuatu yang ada dalam batok kepala, tetapi terejawantah dalam kerelaan memberikan sebagian lahan pekarangan bahkan tempat rumah untuk kepentingan umum.

Kisah sukses ini tidak terlepas dari cara pemerintah melakukan pendekatan, yang tidak sekadar persuasif tetapi juga dan terutama manusiawi. Pendekatan persuasif per se tidak dengan sendirinya baik. Persuasi bisa manipulatif, ibarat mencekik dengan benang sutra, halus-lembut namun mematikan. Pendekatan persuasif mesti berdiri atas prinsip bahwa seseorang yang didekati adalah manusia yang berharkat dan bermartabat, yang memiliki kedaulatan atas apa yang ia punyai, yang kepentingannya sebagai pribadi tidak boleh dipaksakan untuk dikorbankan bagi kepentingan umum. Prinsip ini menolak cara berpikir dangkal bahwa demi kepentingan umum, kepentingan individu harus dikorbankan. Sebab, apa dan siapakah ‘umum’ itu? Bukankah ‘umum’ merupakan kumpulan atau keseluruhan dari individu juga?

Pendekatan persuasif di atas prinsip inilah yang dilakukan pemerintah Mabar di saat-saat awal ruas jalan kota Labuan Bajo diperlebar. Sukses dan manusiawi. Yang kita herankan, mengapa tidak atas cara dan prinsip yang sama pemerintah saat ini melakukan penggusuran jalan di Kampung Ujung? Ini sebuah langkah mundur! Sampai-sampai cap yang diberikan warga kepada penggusur bukan hanya tidak manusiawi, tetapi kanibal!

Kita berharap pemerintah setempat belajar dari sukses awal. Kalau semasa menjadi penjabat bupati, Pak Fidelis Pranda dinilai sukses dalam hal pelebaran jalan kota Labuan Bajo, mengapa tidak menjadi lebih baik ketika kini menjadi bupati bersama wabup Agus Dula? Kita titip pertanyaan ini untuk keduanya.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 17 November 2006

Tidak ada komentar: